Membincang
Yunani Kuno yang terlintas pertama kali dalam benakku adalah filsafatnya.
Hampir seluruh dunia mengakui bahwa filsafat Yunani menjadi landasan
peradaban-peradaban yang terbentuk hingga kini. Namun, mengapa filsafat mereka
seakan-akan mulai ditinggalkan oleh para pemuda penerus bangsa ini. Tak hanya
itu, para guru dan para dosen pun arang yang mengetahui terkait filsafat abad
Yunani Kuno ini.
Filsafat
adalah induk dari segala ilmu pengetahuan. Namun seperti yang kita tahu,
realitasnya generasi kita hanya mampu mengonsumsi sedikit dari
permukaan-permukaan filsafat tanpa mengerti esensi dari ilmu filsafat sendiri.
Misalnya, ilmu Matematika, Fisika, Biologi dan Kimia yang kemudian kita kenal
dengan sebutan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ilmu alam ini kemudian lebih
dikerucutkan hanya pada metode hitung-menghitung saja, generasi muda hanya
diajarkan bagaimana menyelesaikan sebuah soal dengan menggunakan rumus-rumus
perhitungan yang seolah sudah mutlak. Disini, saya menilai bahwa ilmu alam yang
sudah dikerucutkan itu adalah sebuah ilmu pragmatis karena generasi kita tidak
dijelaskan bagaimana bisa rumus itu muncul, yang kita ketahui hanya “ya begitu
rumusnya,”.
Padahal,
jika kita telisik lebih dalam mengenai para filsuf. Saya ambil contoh
Phytagoras, beliau adalah seorang ilmuwan bukan hanya sebatas rumus untuk
menghitung seperti yang kita kenal di setiap jam pelajaran matematika.
Phytagoras memang dikenal sebagai bapak bilangan. Saya mengajak para pembaca
untuk membayangkan, andai saja semua lulusan Fakultas Sains dan Teknologi
(SAINTEK) seluruh Universitas yang ada di Indonesia tidak hanya menguasai
rumus-rumus yang dilahirkan oleh para Ilmuwan, tetapi juga memahami bahkan
menguasai jalan pikiran para filsuf kita. Tentunya, ilmuwan-ilmuwan yang
memahami hakikat hidup akan dilahirkan di Indonesia. Sehingga dalam melakukan
sebuah penelitian dan penemuan mereka juga akan memperhatikan ekuilibrium pada
setiap elemen, baik elemen alam, daya manusia, profit keuntungan dan kerugian
yang sudah matang dipikirkan.
Tidak
hanya memperkenalkan Phytagoras secara sepintas, Saya akan mengajak para
pembaca mengenal lebih jauh mengenai salah satu tokoh matematika yang rumusnya
selalu kita gunakan sejak di bangku Sekolah Dasar hingga jenjang Mahasiswa ini.
Phytagoras lahir pada tahun 570 SM di
Pulau Samos, daerah Ionia. Dalam sejarah Yunani Kuno, Phytagoras adalah pribadi
yang sangat tekun dalam perjalanannya menuntut ilmu, ia bahkan kerap berkelana
ke sudut-sudut dunia demi memperdalam pengetahuan yang ia miliki. Misalnya,
Mesir, India, Cina dan masih banyak lagi tentunya. Tujuannya tak lain adalah
untuk berguru. Phytagoras pun pernah ditolak untuk dijadikan murid oleh salah
satu gurunya, alasannya pun mengejutkan karena Phytagoras dinilai sudah sangat
cerdas.
Phytagoras
tidak hanya memperdalam ilmu matematika, tetapi ia pernah belajar pula ilmu
misteri di Thebe, ilmu astronomi di Caldei, dan ilmu terkait ritus-ritus mistik
pada para Magi dan dalam pertemuannya dengan Zarathustra ia belajar perlawanan.
Konon katanya, Phytagoraslah orang pertama yang mencetuskan istilah filsafat.
Ceritanya berawal ketika Phytagoras ditanya oleh muridnya, apakah ia adalah
orang yang bijaksana? Phytagoras hanya menjawab “Aku hanyalah orang yang mencintai kebijaksanaan”. Dalam bahasa
Yunani, cinta kebijaksaan berarti Filhos
Shophos.
Salah
satu ajaran Phytagoras yang paling terkenal ialah segala sesuatu berasal dari
bilangan, ia percaya bahwa angka bukanlah unsur alam seperti halnya udara dan
air. Ia percaya bahwa segala hal di dunia berhubungan dengan matematika. Jika
semua berasal dari angka, maka semua hal dapat dihitung dan diukur. Dengan
angka, sebuah harmoni akan terbentuk dan seimbang karena tanpa adanya harmoni
alam semesta tak akan terbentuk.
Dari
tulisan ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwasanya tanpa adanya angka, dunia
tidak akan bisa seimbang. Dari tulisan ini pula diharapkan sahabat/i dapat
memperoleh motivasi sekaligus menumbuhkan benih-benih semangat mendobrak
pemikiran pragmatis kita mengenai ilmu alam yang kita ketahui. Harus kita
sadari pula, negeri kita, Indonesia membutuhkan para pemuda-pemudi yang dapat
membawa perubahan (agent of changed)
yang peka terhadap perubahan global baik segi nasional maupun internasional
dengan tetap menjaga ekuilibrium bagi setiap elemennya.
*Penulis adalah Koordinator Divisi Penerbitan, Biro Pers dan Wacana
Rayon Sains dan Teknologi Masa Juang 2016-2017
2 Komentar