Oleh : Adi Setiawan
Kemerdekaan, bagi banyak orang, telah menjadi sebuah retorika yang sering
dipahami secara simbolis, tanpa terhubung ke realitas yang menyengat.
Ironisnya, begitu merdeka secara politik, namun tak sepenuhnya merdeka dalam
berekspresi, mendapatkan pendidikan yang layak, dan hidup sejahtera. Kini, para
mahasiswa kembali mengajarkan kita apa makna kebebasan yang sesungguhnya melalui
kritik tajam, protes gigih, dan pantang menyerah.
Pertama-tama, dunia pendidikan Indonesia tengah dihimpit. Pengurangan
anggaran pendidikan sebagai dampak dari Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025
telah memicu gerakan Indonesia Gelap. Mahasiswa dari berbagai kota turun
ke jalan menuntut penghapusan pemangkasan, peningkatan tunjangan dosen, serta
pemulihan akses pendidikan berkualitas. Ketika anggaran digunakan secara
efisien hanya bagi program yang populer seperti free meals, yaitu untuk
anak sekolah dan ibu hamil, nasib mahasiswa yang menjadi tulang punggung masa
depan bangsa terabaikan. Lebih menyakitkan lagi, banyak mahasiswa yang
menyerukan hashtag KaburAjaDulu, sebagai wujud keputusasaan atas
ketidakpastian masa depan di dalam negeri.
Pada saat yang sama, krisis pendidikan berlapis marak terjadi. Angka
partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi yang masih tertinggal dibanding ASEAN
ditambah ketimpangan akses antara kota dan daerah menegaskan bahwa perjuangan
kemerdekaan sosial belum tuntas. Keadaan ini semakin diperparah oleh pemiskinan
struktural: 8,57% rakyat masih berada di garis kemiskinan, sebagian besar di
wilayah terancam pendidikan yang tidak optimal.
Kemerdekaan berpendapat juga sedang diuji oleh UU ITE. Di satu sisi,
putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini yang mengecualikan delik digital
dalam UU ITE menjadi momentum penting untuk memperkuat kebebasan berekspresi.
Namun, realitas menunjukkan bahwa lebih dari 900 warga telah dipenjara
berdasarkan pasal-pasal karet ujaran kebencian, pencemaran nama baik, hingga
makar selama hampir delapan tahun terakhir. Betapa tragis, kemerdekaan juga
diperalat menjadi alasan kriminalisasi kritik.
Ditambah lagi, ada kisah memilukan dari Pati, di mana rakyat dan
mahasiswa bersatu menyeru perubahan. Raja daerah yaitu Bupati Sudewo dianggap
arogan ketika mengajukan kenaikan PBB sebesar 250%. Aksi turun ke jalan yang
diikuti 85 ribu hingga 100 ribu orang menarik perhatian nasional. Polisi
bertindak represif dengan water cannon dan gas air mata, menimbulkan puluhan
korban luka dan penangkapan. Unjuk rasa itu menelanjangi wajah kekuasaan yang
gampang lupa bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan. Arogansi pemerintah
daerah, yang disambut represifitas aparat, mengakibatkan salah satu demonstrasi
terbesar dalam sejarah Pati yang diteguhkan dengan pembatalan kenaikan pajak
dan hak angket DPRD.
Seluruh persoalan ini yaitu pendidikan menurun, kebebasan dibungkam,
kesejahteraan belum menjangkau adalah tantangan konkret bagi makna kemerdekaan.
Demokrasi sejati bukan hanya kebebasan negara untuk meminjamkuasai narasi,
melainkan ruang terbuka untuk menyuarakan kritik, memperjuangkan keadilan, dan
memastikan setiap warga, terutama mahasiswa, tidak merasa asing dengan
negaranya.
Namun harapan tak sirna. By the numbers, pemerintah menyalurkan anggaran
berbasis tanggung jawab sosial: program free nutritious meals diberikan
kepada siswa dan ibu hamil, meski realisasi baru mencapai 2,6% dari anggaran
tahunan. Ini menunjukkan bahwa bila ada kemauan, jalannya bisa dilalui. Kini
justru saatnya rakyat terutama generasi muda untuk mendesak terbukanya ruang
pendidikan, revisi pasal karet, dan bupati maupun pemerintahan daerah yang
arogan harus dipertanggungjawabkan.
Secercah kemerdekaan berarti ia harus dipelihara; bukan hanya di tiang
bendera, tetapi di ruang kelas, media sosial, kampus, dan alun-alun rakyat.
Mahasiswa dan masyarakat tak cukup hanya menyambut merdeka, mereka harus terus
mempertanyakannya. Dalam pergulatan ini, suara kritis adalah cahaya, sementara
pendidikan dan keadilan merupakan hak, bukan kemewahan. Itulah kemerdekaan yang
mesti dikejar dengan hati, pikiran, dan kerelaan membayar harga demokrasi.
Referensi
1.
Amnesty
International Indonesia. (2025, April 4). Putusan MK jadi momentum revisi
menyeluruh pasal-pasal bermasalah UU ITE.
https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/putusan-mk-jadi-momentum-revisi-menyeluruh-pasal-pasal-bermasalah-uu-ite/04/2025/
2.
Amnesty
International Indonesia. (2025, August 16). Refleksi 80 tahun kemerdekaan:
903 orang dijerat UU ITE dan makar sejak 2018.
https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/refleksi-80-hut-ri-kemerdekaan-903-orang-dijerat-uu-ite-dan-makar-sejak-2018/08/2025/
3.
Badan
Keahlian DPR RI. (2025, April). Ketimpangan akses pendidikan tinggi di
Indonesia. Info Singkat, XVII(7), 1–8.
https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XVII-7-I-P3DI-April-2025-2501-EN.pdf
4.
Reuters.
(2025, June 17). Indonesia disburses less than 3% of budget for Prabowo’s
flagship free meals programme.
https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-disburses-less-than-3-budget-prabowos-flagship-free-meals-programme-2025-06-17/
5.
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). (2025). Pentingnya inovasi pendidikan untuk
meningkatkan angka partisipasi kasar di Indonesia.
https://www.umy.ac.id/en/pentingnya-inovasi-pendidikan-untuk-meningkatkan-angka-partisipasi-kasar-di-indonesia/
6.
Wikipedia.
(2025). 2025 Pati demonstrations.
https://en.wikipedia.org/wiki/2025_Pati_demonstrations
7.
Wikipedia.
(2025). KaburAjaDulu. https://en.wikipedia.org/wiki/KaburAjaDulu
8.
The
Australian. (2025, August 14). Protesters up in arms over Indonesia property
tax increase.
https://www.theaustralian.com.au/world/protesters-up-in-arms-over-indonesia-property-tax-increase/news-story/d6062b8e9972ffcb58e81ae5c494fcde
9.
Kristi
Dawn Riggs. (2025). Balancing education and social welfare: Indonesia’s free
meals programme and its impact on higher education. Medium.
https://kristidawnriggs.medium.com/balancing-education-and-social-welfare-indonesias-free-meals-program-and-its-impact-on-higher-5e1f84cd0261
0 Komentar