(Sumber gambar: pelita banten)
Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan penduduk yang padat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia hasil sensus penduduk pada tahun 2010 sebanyak 237.641.326 jiwa. Hal itu sejalan dengan banyaknya jumlah generasi muda. Tingginya kuantitas penduduk hendaklah dibarengi dengan tingkat kualitas sumber daya manusia yang tinggi, terutama generasi muda yang merupakan kelompok usia produktif. Untuk mewujudkan hal itu, salah satu jalan yang dapat ditempuh ialah melalui pendidikan. Kewajiban mengenyam pendidikan tertuang dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 2 yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”, hal ini menunjukkan betapa pentingnya pendidikan itu, namun masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak bisa mengenyam pendidikan dengan nyaman.
Berdasarkan data BPS Indonesia, persentase penduduk usia 7-15 tahun yang belum atau tidak sekolah sebesar 2,51 persen dan yang tidak sekolah lagi sebesar 6,04 persen. Persentase penduduk dengan usia diatas 5 tahun yang berpendidikan minimal tamat SMP/sederajat sebesar 40,93 persen. Ini menunjukkan kualitas sumber daya manusia menurut pendidikan formalnya masih terbilang rendah. Mengapa hal itu bisa terjadi, padahal pemerintah sudah menggalakkan program wajib belajar 9 tahun dan membebaskan biaya spp sampai tingkat sekolah menengah pertama? Memang benar tidak ada pungutan uang bulanan namun biaya seragam, buku cetak, lembar kerja siswa (LKS), dan iuran yang lain masih bersumber dari peserta didik. Mungkin hal ini tidak terasa bagi kalangan menengah ke atas namun bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah? Pastinya menjadi beban moril tersendiri. Selain itu, mindset masyarakat untuk ‘lebih baik bekerja’ masih melekat, terutama di lingkungan pedesaan, seperti lingkungan saya. Maka perlu adanya sosialisasi lebih lanjut mengenai pentingnya mengenyam pendidikan formal yang dilakukan oleh pemerintah.
Saat ini sistem pendidikan Indonesia di sekolah masih terpaku pada teori kontekstual, begitu pun dengan sistem penilaiannya. Disisi lain, setiap anak memiliki keahlian yang berbeda-beda, yakni pada bidang akademik; kesenian; olahraga; dan lain sebagainya. Sedangkan porsi yang disediakan oleh lembaga pendidikan lebih banyak dalam bidang akademik. Lalu bagaimana dengan mereka yang memiliki passion di bidang lain? Pada umumnya memang ada kegiatan ekstrakurikuler di tiap sekolah, di tingkat sekolah menengah khususnya. Kegiatan ekstrakurikuler kebanyakan meliputi program di bidang olahraga (voli, basket, badminton, dsb), kesenian (band, karawitan, lukis, dsb), palang merah remaja, pramuka yang juga menjadi kegiatan wajib sekolah, dan lain sebagainya.
Lantas apakah dengan disediakan platform tersebut dapat menunjukkan hasil yang memuaskan? Nyatanya belum, banyak pelajar yang memiliki kemampuan di bidang non-akademik namun enggan mengembangkan bakat yang dimiliki dengan alasan takut tidak dapat membagi waktu dengan sekolah formal atau istilahnya ‘keteteran’, meski tidak semua. Kualitas dan infrastruktur sekolah yang kurang memadai juga menghambat berkembangnya daya kreatifitas pelajar. Sehingga diperlukan adanya peningkatan kualitas dan infrastruktur sekolah. Dibalik itu semua, poin paling penting disini ialah semangat dari para pelajar. Jika para pelajar tidak ada semangat belajar, maka cita-cita membentuk sumber daya manusia unggul tidak akan terwujud.
Dengan adanya berbagai macam problematika, dari sisi pelajar sendiri harus memiliki semangat dan daya minat belajar yang tinggi. Lembaga pendidikan dan tenaga pendidik berkewajiban menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar. Keluarga dan masyarakat juga dapat membantu dengan memacu agar pelajar dapat berpikir kritis dan memandang segala hal dari berbagai sisi. Pengalokasian dana pendidikan yang tepat guna sangat berarti bagi kemajuan sistem pendidikan, hal ini merupakan kewajiban pemerintah. Jika kualitas sumber daya manusia Indonesia tinggi maka dapat mewujudkan cita-cita dari bangsa Indonesia, selain itu juga akan lebih diperhitungkan dalam kompetisi global, sehingga masyarakat akan semakin percaya diri untuk berkreasi sesuai dengan bakat minatnya.
Penulis: Emamatul Qudsiyah
Editor: Indah Lestari
0 Komentar