Setiap 21 April, kita diajak menengok kembali perjuangan seorang
perempuan bangsawan dari Jepara yang telah mengubah wajah sejarah Indonesia—Raden
Ajeng Kartini. Dalam surat-suratnya yang penuh kegelisahan, Kartini
mengungkapkan kerinduan akan kebebasan berpikir, hak atas pendidikan, dan
kesetaraan bagi perempuan. Ia adalah api kecil yang tak padam meski dikepung
tembok patriarki kolonial. Namun, lebih dari sekadar sosok historis, Kartini
adalah simbol—dan simbol itu hidup di tengah kita hari ini.
KOPRI: Kartini yang Berorganisasi
Lembaga Keperempuanan KOPRI PMII (Korps Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia Puteri) adalah pengejawantahan semangat Kartini dalam gerakan
mahasiswa modern. KOPRI bukan hanya ruang untuk berkumpul; ia adalah arena
belajar, berdaya, dan berjuang. Di sinilah perempuan-perempuan muda Muslim
belajar tidak hanya membaca realitas, tapi juga menuliskannya kembali dengan
tinta perjuangan.
Kartini memperjuangkan pendidikan—KOPRI menegaskan bahwa pendidikan
adalah awal dari kesadaran kelas dan kesadaran gender. Kartini menggugat adat
yang membelenggu—KOPRI menggugat sistem dan struktur yang belum berpihak pada
keadilan gender. Kartini menulis untuk membuka mata bangsanya—KOPRI bergerak
untuk membuka ruang bagi perempuan-perempuan muda agar dapat menjadi pemimpin
umat dan bangsa.
Relevansi Hari Ini: Dari Pena ke Aksi
Di era digital ini, tantangan perempuan bukan hanya diskriminasi
konvensional, tapi juga bias algoritma, kekerasan berbasis gender online, dan
stereotip baru yang tampil dalam balutan modernitas. Maka, menjadi Kartini hari
ini bukanlah soal memakai kebaya dan sanggul semata, melainkan tentang
keberanian perempuan muda untuk berpikir kritis, bersuara di ruang publik, dan
mengambil peran dalam pengambilan keputusan.
KOPRI PMII menjawab tantangan zaman dengan memperkuat kapasitas kader
perempuan di berbagai sektor—politik, pendidikan, ekonomi, bahkan teknologi.
Kader KOPRI hari ini harus menjadi thinker, doer, dan leader
dalam satu tarikan napas. Mereka tidak lagi menunggu dipanggil sejarah,
melainkan menjemputnya dengan kesadaran penuh.
Penutup: Melanjutkan Mimpi Kartini
Kartini menulis, “Habis gelap terbitlah terang.” Terang itu kini kita
saksikan dalam wajah-wajah kader KOPRI yang memimpin forum, berdiri gagah di
barisan aksi, dan menyusun strategi pemberdayaan dari desa hingga kota. Namun
terang tidak datang sendiri; ia harus terus dinyalakan, dijaga, dan diwariskan.
Maka di Hari Kartini ini, mari kita jadikan semangat Kartini bukan
sekadar peringatan tahunan, tetapi napas harian dalam perjuangan. Dan KOPRI
PMII adalah salah satu bukti bahwa cita-cita Kartini masih hidup, masih tumbuh,
dan masih melawan.
0 Komentar