Karya
: Annisa Arti Komariyah
Di ambang peringatan Hari Pendidikan
Nasional pada tanggal 2 Mei 2025, kita dihadapkan pada sebuah ironi yang
menyakitkan, sebuah kontradiksi yang semakin menggerogoti fondasi luhur
pendidikan di negara ini. Judul "Dari Pahlawan ke Korban: Potret Guru di
Negeri Sendiri" bukan sekadar narasi dramatis, melainkan sebuah
representasi yang menyedihkan dari realitas memilukan yang dihadapi oleh para
pendidik di seluruh penjuru Nusantara. Para pendidik, yang seharusnya berdiri
tegak sebagai arsitek peradaban bangsa dan garda terdepan dalam mencetak
generasi penerus yang cerdas dan berkarakter, kini tidak jarang terjerat dalam
jaringan kebijakan yang sering kali kontraproduktif dan tidak sesuai dengan
kebutuhan di lapangan. Mereka juga dihantam oleh gelombang ketidakadilan
ekonomi yang meruntuhkan semangat pengabdian, serta terombang-ambing dalam arus
perubahan sosial dan teknologi yang tidak dikelola dengan visi yang jelas dan
dukungan yang memadai. Momentum Hari Pendidikan yang seharusnya menjadi
perayaan kemajuan dan harapan, justru berubah menjadi pengingat pahit akan
penderitaan para guru. Seharusnya, hal ini menjadi alarm yang menggaung bagi
pemerintah dan seluruh elemen bangsa, bukan sekadar seremoni tahunan yang
kosong tanpa menyentuh akar permasalahan yang semakin menganga.
Stigma "pahlawan tanpa tanda
jasa" yang terus menerus disuarakan oleh pemerintah dan masyarakat, alih-alih
bertransformasi menjadi bentuk pengakuan dan apresiasi yang tulus, justru
berubah menjadi mantra pembius yang secara sistematis melanggengkan pengabaian
terhadap hak-hak dasar para guru, baik sebagai individu maupun sebagai
profesional. Secara psikologis dan sosiologis, pelabelan ini dengan halus
menormalisasi pengorbanan yang melampaui batas kewajaran tanpa adanya
kompensasi yang setimpal, seolah-olah dedikasi seorang guru harus diukur dari
kemampuannya untuk bertahan hidup dalam kondisi yang serba kekurangan dan
keterbatasan. Penelitian mendalam mengenai stres kerja dan sindrom kelelahan
emosional di kalangan pendidik secara konsisten menunjukkan adanya korelasi
yang kuat dan signifikan antara beban kerja yang tidak proporsional, kurangnya
dukungan sistemik yang nyata, serta rendahnya apresiasi finansial dengan
penurunan kualitas pengajaran yang berdampak langsung pada mutu pendidikan,
serta menurunnya kesejahteraan mental dan fisik para guru itu sendiri.
Pemerintah seolah sengaja memejamkan mata pada paradoks yang sekaligus lucu dan
tragis ini: bagaimana mungkin kita secara rasional mengharapkan
"pahlawan" yang dihantui oleh masalah perut yang keroncongan dan
pikiran yang terbebani oleh urusan duniawi dapat mencetak generasi emas yang
cerdas, kreatif, inovatif, dan berdaya saing global di kancah internasional?
Lebih menggelitik nurani adalah
kompleksitas birokrasi pendidikan yang terus membelit, secara perlahan namun
pasti menguras energi serta waktu berharga para pendidik. Kurikulum yang
berganti-ganti layaknya trend fashion musiman yang tiada henti, sering kali
tanpa adanya sosialisasi yang efektif dan persiapan yang matang di tingkat akar
rumput, memaksa guru untuk bertransformasi menjadi ahli multitasking yang harus
menguasai berbagai materi baru dalam waktu yang sangat terbatas, sambil tetap
berurusan dengan tumpukan perangkat pembelajaran yang tebalnya sering kali
melebihi kamus ensiklopedia, serta melaporkan berbagai kegiatan yang seringkali
terasa lebih sebagai formalitas administratif yang tidak memiliki dampak
langsung terhadap peningkatan kualitas pembelajaran siswa di kelas. Sebuah
kajian mendalam mengenai efektivitas birokrasi dalam sektor pendidikan secara
empiris menunjukkan bahwa sistem yang terlalu terpusat, berbelit-belit, dan
sarat dengan prosedur yang tidak efisien justru menghambat inovasi di tingkat
sekolah dan secara efektif mematikan kreativitas serta inisiatif guru dalam
mengembangkan metode pengajaran yang menarik dan relevan bagi siswa. Waktu
berharga yang seharusnya dihabiskan untuk berinteraksi secara personal dengan
siswa, mengembangkan metode pengajaran yang inovatif dan kreatif sesuai dengan
kebutuhan individu siswa, serta mengevaluasi hasil belajar siswa secara
mendalam dan berkelanjutan, justru terkuras habis untuk urusan administratif
dan laporan-laporan yang sering kali tidak berdampak signifikan terhadap
peningkatan mutu pendidikan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, pemerintah
perlu segera menyadari keadaan ini: apakah kita sedang membangun sistem
pendidikan yang benar-benar berorientasi pada kebutuhan siswa dan pendidik, atau
justru terjebak dalam labirin ritual administratif yang tak berujung dan tidak
produktif.
Janji kesejahteraan guru juga tak ubahnya
fatamorgana yang terus mengecoh di tengah gurun ketidakadilan yang meluas di
dunia pendidikan Indonesia. Program sertifikasi guru yang pada mulanya dianggap
sebagai solusi ampuh untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para
pendidik, pada kenyataannya belum mampu menjangkau seluruh guru secara merata
dan adil. Hal ini justru menciptakan jurang kesejahteraan yang semakin lebar
antara guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan guru honorer, serta antara guru yang
bertugas di wilayah perkotaan yang relatif makmur dan guru yang mengabdi di
daerah pedesaan dan terpencil yang serba kekurangan. Jutaan guru honorer di
seluruh pelosok negeri terus berjuang dengan upah yang jauh di bawah garis
kemiskinan, tanpa adanya kepastian status kepegawaian dan jaminan masa depan
yang jelas dan terukur. Pemerintah seolah memainkan sandiwara kesejahteraan
yang penuh kepalsuan, memberikan harapan semu kepada para pejuang pendidikan
yang sesungguhnya telah mengorbankan segalanya demi mencerdaskan anak-anak
bangsa. Ironisnya, bagaimana mungkin kita dengan retorika yang lantang
membicarakan tentang kualitas pendidikan yang merata dan berkeadilan ketika
para pendidiknya sendiri hidup dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan dan
tidak manusiawi? Bukankah ini merupakan sebuah kemunafikan struktural yang
memalukan dan mencoreng wajah kemanusiaan kita sebagai bangsa yang beradab?
Di era digital yang dikenal sebagai
periode transformasi dan revolusi, para guru secara tiba-tiba diharuskan untuk
beradaptasi menjadi digital native dalam waktu singkat, tanpa persiapan
pengetahuan, keterampilan, serta infrastruktur yang memadai. Mereka diberi
tuntutan untuk mengintegrasikan teknologi canggih dalam proses pembelajaran,
sedangkan di banyak sekolah, terutama di daerah-daerah yang terbelakang,
koneksi internet yang stabil menjadi hal yang sulit dijangkau, bahkan perangkat
komputer yang layak pakai sering kali dianggap sebagai barang mewah. Pemerintah
seolah mengirimkan para pendidik ke medan perang abad ke-21 dengan perlengkapan
dari abad ke-19 yang sudah usang dan tidak relevan. Ironi yang sekaligus
menggelikan dan menyedihkan adalah bagaimana kita dapat secara realistis
mengharapkan guru untuk menghasilkan generasi digital yang terampil, kritis,
dan inovatif, sementara mereka sendiri terjebak dalam ketidakmampuan teknologi
akibat minimnya dukungan fasilitas serta pelatihan yang sistematis dan
berkelanjutan.
Puncak dari semua ironi ini adalah
terkikisnya wibawa dan otonomi guru di hadapan siswa dan bahkan orang tua.
Kasus-kasus kriminalisasi guru akibat tindakan pendisiplinan siswa yang masih
dalam batas kewajaran merupakan bukti nyata hilangnya rasa hormat dan
kepercayaan terhadap profesi yang mulia ini. Pemerintah dan aparat penegak
hukum tampak lebih sigap dan responsif dalam membela tindakan
"kenakalan" siswa yang sering kali telah melampaui batas, ketimbang
memberikan perlindungan kepada guru yang dengan tulus berusaha menegakkan
nilai-nilai moral dan karakter yang kuat pada generasi muda. Media sosial pun
sering kali berfungsi sebagai arena penghakiman massal terhadap guru, tanpa
memberikan kesempatan untuk klarifikasi dan pembelaan yang adil, sehingga
memperburuk situasi dan menciptakan iklim ketakutan di kalangan pendidik.
Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: masyarakat seperti apa yang
sedang kita bangun jika sosok guru, yang seharusnya menjadi panutan,
pembimbing, dan sumber inspirasi bagi generasi muda, justru dijadikan objek
bulan-bulanan dan hidup dalam ketakutan dalam menjalankan tugas sucinya.
Hari Jum’at, 2 Mei 2025, merupakan
peringatan Hari Pendidikan Nasional. Saatnya kita menghentikan retorika kosong
serta ilusi kemajuan yang selama ini kita ciptakan sendiri, dan dengan berani
menghadapi realitas pahit yang dialami oleh para pendidik di negeri ini.
Pemerintah serta seluruh pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan memiliki
tanggung jawab moral dan konstitusional yang tidak dapat diabaikan untuk segera
mengembalikan martabat dan meningkatkan kesejahteraan guru secara nyata dan
berkelanjutan. Tindakan ini bukan lagi sekadar wacana normatif, melainkan
merupakan langkah mendesak yang tidak dapat ditunda: peningkatan gaji yang
signifikan dan merata bagi seluruh guru tanpa kecuali, pengurangan beban
administratif yang tidak relevan dan tidak berkontribusi langsung pada kualitas
pembelajaran, penyediaan akses yang adil dan merata terhadap pelatihan serta
pengembangan profesional yang berkualitas dan mudah diakses oleh seluruh guru
di Indonesia, pembangunan infrastruktur pendidikan yang merata dan memadai
hingga ke pelosok negeri, serta penegakan hukum dan perlindungan yang jelas dan
tegas bagi guru dalam menjalankan tugas mulianya tanpa rasa takut dan khawatir
akan tindakan kriminalisasi.
Lebih lanjut, diperlukan perubahan
fundamental dalam cara kita memandang dan memperlakukan guru. Mereka bukan
sekadar pekerja atau pelayan publik biasa, melainkan merupakan fondasi utama
peradaban bangsa yang memiliki peran krusial dalam membentuk masa depan
Indonesia. Masyarakat juga memiliki peran yang sangat penting dalam membangun
kembali rasa hormat dan kepercayaan terhadap profesi guru sebagai figur
otoritas pendidikan yang patut dihargai dan didukung. Pemerintah serta media
massa memiliki tanggung jawab besar untuk secara proaktif membangun narasi
positif tentang dedikasi, pengorbanan, dan kontribusi guru bagi kemajuan
bangsa, serta mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menghargai otoritas dan
peran sentral guru dalam sistem pendidikan yang berkualitas.
Apabila kita terus membiarkan ironi ini
merajalela dan tidak mengambil tindakan nyata yang transformasional, maka Hari
Pendidikan Nasional hanya akan menjadi pengingat yang menyakitkan mengenai
betapa jauhnya kita dari cita-cita luhur pendidikan yang memuliakan guru dan
memajukan bangsa. Sudah saatnya kita bertindak nyata, merobohkan tembok
ketidakadilan yang selama ini mengungkung para guru, serta memberikan
penghargaan dan dukungan yang setimpal kepada para pahlawan pendidikan yang
sejati, bukan hanya dalam retorika dan seremoni belaka, melainkan dalam
realitas kehidupan sehari-hari mereka. Jangan biarkan Hari Pendidikan berlalu
tanpa adanya komitmen yang kuat dan tindakan yang terukur untuk mengubah potret
kelam guru menjadi cerminan harapan dan kemajuan pendidikan Indonesia di masa
depan. Ironi ini seharusnya mampu mengguncang kesadaran kita dan memaksa kita
untuk bertindak demi martabat dan kesejahteraan guru, demi masa depan bangsa
yang lebih gemilang.
0 Komentar