Karya: S. Qumariyah
Pagi Idulfitri datang bersama cahaya lembut yang menyapu bumi, membawa gemuruh takbir yang menggema dari segala penjuru. Udara terasa hangat, langit bersih tanpa awan, seakan alam sedang merayakan kemenangan bersama manusia. Namun, di hati Nilna, ada yang tak turut bersuka cita. Ada kehampaan yang tak bisa diisi oleh kebahagiaan orang-orang di sekelilingnya. Tahun ini, Idulfitri terasa berbeda. Hampa.
Biasanya, di hari seperti ini, ia dan Rina akan
sibuk sejak subuh, tertawa-tawa memilih baju terbaik dan saling mengomentari
penampilan masing-masing. Mereka akan berkeliling, berburu ketupat terenak,
bercanda tanpa henti, dan menyusun rencana panjang untuk seharian penuh. Tapi
kini, hanya ada sunyi yang menggantikan suara riang sahabatnya.
Dengan langkah pelan, Nilna berjalan menuju rumah
keluarga Rina. Setiap langkah terasa berat, seperti menapaki kenangan yang
terus membayangi. Sesampainya di depan pintu, ia menarik napas panjang,
mengumpulkan keberanian sebelum mengetuk pelan. Tak butuh waktu lama, pintu
terbuka, dan di baliknya berdiri Bu Sari, ibu almarhum sahabatnya.
Senyum hangat itu masih ada, tetapi sorot matanya
menyiratkan kerinduan yang sama. Kerinduan pada seseorang yang tak lagi bisa
kembali.
"Assalamualaikum, Bu," sapa
Nilna lembut, suaranya sedikit bergetar.
Bu Sari menggenggam tangannya erat, sebuah
genggaman yang seolah ingin menyalurkan kekuatan yang tersisa. "Waalaikumsalam,
Nak Nilna. Masuk, ayo," ajaknya dengan suara yang hangat, tetapi
menyimpan getaran kesedihan.
Di dalam, Pak Hasan duduk dengan tatapan kosong
mengarah ke luar jendela. Ia mengenakan baju koko putih, warna yang kontras
dengan matanya yang tampak redup. Seolah ada sesuatu yang ingin dikatakannya,
tetapi tertahan di dalam dada.
Nilna melangkah mendekat dan duduk di dekat mereka.
Ruangan itu masih sama seperti dulu, tetapi ada satu kursi yang kini kursi kosong tempat Rina biasanya duduk sambil berceloteh riang.
"Maaf lahir dan batin, Pak, Bu," ucapnya
dengan suara lirih.
Pak Hasan menoleh, memberikan senyum kecil yang
terasa begitu berat. "Maaf lahir dan batin juga, Nak," katanya
pelan. "Rina pasti senang kamu datang ke sini."
Bu Sari mengelus pundak Nilna, sentuhan lembut yang
membuat dadanya semakin sesak. "Lebaran ini terasa berbeda tanpa Rina.
Rumah ini… terlalu sepi tanpanya."
Nilna menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata.
"Saya kangen Rina, Bu. Rasanya masih belum percaya dia nggak ada."
Bu Sari menarik napas panjang, berusaha tetap
tegar. "Kami juga, Nak. Kadang, masih terbayang dia berlari ke dapur,
mencuri kue nastar sebelum tamu datang. Tapi sekarang, hanya kenangan yang
tertinggal. Kita harus ikhlas, ya?"
Nilna
mengangguk pelan. Setelah beberapa saat berbincang, ia berpamitan untuk
berziarah ke makam Rina.
Di pemakaman, angin berembus lembut, membelai
dedaunan dan rerumputan yang mulai menguning. Langit masih cerah, tetapi bagi
Nilna, dunia terasa sedikit lebih suram tanpa sahabatnya.
Ia duduk di samping nisan, mengusap batu dingin itu
dengan jemarinya. Nama Rina terukir jelas di sana, bersama tanggal yang
menandai perpisahan mereka untuk selamanya.
"Selamat Idulfitri, Rin. Maaf lahir dan batin,
ya," bisiknya
dengan suara yang hampir tenggelam oleh angin.
Angin seakan menjawab, membelai lembut rambutnya.
Nilna menarik napas dalam, mencoba meredakan sesak
di dadanya. "Aku kangen banget. Harusnya kita sekarang lagi muter-muter
nyari rumah yang kasih ketupat paling enak, kan?" Ia tersenyum kecil,
meskipun ada air mata yang menggantung di pelupuknya.
Suaranya semakin lirih. "Tahun lalu kita sampai
lupa waktu, terus dimarahin ibumu. Kamu malah ngakak dan bilang, ‘Lebaran tuh
harus dimanfaatin buat berburu opor gratis!’"
Ia tertawa kecil, tetapi segera diiringi isakan
pelan. Kenangan itu terasa begitu nyata, seolah-olah Rina masih ada di sampingnya,
menggoda dan tertawa seperti dulu.
Diam sejenak, Nilna menghela napas panjang. "Aku
tahu kamu pasti nggak mau lihat aku sedih terus. Aku bakal tetap jalanin hidup,
bakal tetap ketawa, bakal tetap jadi sahabatmu… walaupun kamu nggak di sini
lagi."
Air mata akhirnya jatuh, tetapi kali ini bukan
hanya karena kesedihan. Ada kelegaan, ada keikhlasan.
Sebelum pergi, Nilna menatap nisan itu sekali lagi.
Dengan suara yang hampir seperti bisikan, ia berkata, "Jaga diri di
sana, ya, Rin. Sampai ketemu lagi, entah kapan."
Angin kembali berembus lembut, seperti bisikan
sahabat lama yang tak pernah benar-benar pergi.
Minal Aidzin Wal Faidzin Mohon Maaf Lahir dan Batin.
0 Komentar