(Sumber gambar: PNGkit)
Saat ini, kita sedang berduka, bumi kita tercinta sedang dilanda pandemi virus covid-19. Seluruh manusia di belahan bumi ini panik. Ketika WHO mendefinisikan covid-19 adalah penyakit menular yang penyebarannya disebabkan oleh jenis corona virus. Corona virus ini merupakan virus yang baru ditemukan, sehingga tergolong jenis virus baru. Semua berawal dari Wuhan, Tiongkok pada bulan Desember 2019 dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Seluruh negara telah disinggahi virus ini. Jadi memang tidak salah jika WHO memutuskan bahwa ini adalah sebuah pendemi, karena telah menyerang di setiap negara.
Corona virus ini nantinya akan menyebabkan penyakit seperti flu tetapi flu akut. Berhubung ini adalah jenis penyakit baru juga, maka dinamailah Covid-19. Keberadaan Covid-19 ini sangat berdampak pada segala aspek kehidupan, tidak tertinggal juga pada aspek pendidikan. Dan dengan adanya pendemi tersebut, ternyata telah ikut mempengaruhi metode kegiatan belajar mengajar. Pada jenjang universitas misalnya, yang mana biasanya mahasiswa dan dosen bertatap muka secara langsung, kini beralih menjadi daring (dalam jaringan) atau lebih seringnya disebut dengan kuliah online.
Kenapa bisa demikian? Setelah adanya pencemi COVID-19, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran no. 4 tahun 2020 tentang pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran coronavirus disease (covid-19), dalam surat edaran tersebut salah satu poin yang disampaikan yaitu terkait pembelajaran dari rumah, yang dilakukan dengan cara daring (dalam jaringan). Pembelajaran daring ini adalah pembelajarn jarak jauh dengan memanfaatkan jaringan internet atau kita semua sering menyebutnya dengan pembelajaran online.
Sebenaranya apa isi dari surat edaran tersebut? Kenapa hal ini dapat terjadi? Apakah ini adalah solusi atau malah menjadi sebuah masalah baru? Bagaimana dalam penerapannya? Efektifkah dengan pembelajaran jarak jauh seperti ini? Pastinya semua pertanyaan-pertanyaan itu sudah memenuhi isi otak kita semua. Dengan begitu, marilah kita kupas satu persatu.
Berdasarkan surat kemendikbud yang telah dikeluarkan yaitu nomor: 36962/MPK.A/HK/2020 tertanggal 17 Maret 2020 tentang Pembelajaran secara daring, maka Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan surat edaran. Surat edaran ini merupakan sebuah bentuk ikhtiar dalam rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) yang penyebarannya sangat cepat ini. Lantas apa saja isi dalam surat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tersebut? isi surat tersebut sebagai berikut :
1. masa belajar paling lama bagi mahasiswa yang seharusnya berakhir pada semester genap 2019/2020, dapat diperpanjang 1 semester, dan pengaturannya diserahkan kepada Pimpinan Perguruan Tinggi sesuai dengan kondisi dan situasi setempat;
2. praktikum laboratorium dan praktek lapangan dapat dijadwal ulang sesuai dengan status dan kondisi di daerah;
3. penelitian tugas akhir selama masa darurat ini agar diatur baik metode maupun jadwalnya, disesuaikan dengan status dan kondisi setempat;
4. periode penyelenggaraan kegiatan pembelajaran semester genap 2019/2020 pada seluruh jenjang program pendidikan agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing perguruan tinggi sehingga seluruh kegiatan akademik dapat terlaksana dengan baik;
5. persiapan pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana disampaikan dalam angka 1 sampai 4 di atas agar terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi setempat.
Awalnya mahasiswa merasa ), berikut : hal tersebut dilakukan dengan ccara daringovid-19) melarang adanya kerumunan dikarenasenang dengan adanya daring atau kuliah online ini, karena mereka berpikir bahwa kuliah online sangat mengasikkan, dengan rebahanpun dapat sambil kuliah. Iya kan? sambil liburan, sambil nonton tvpun bisa, dll. Tetapi ironisnya, pada realitanya kuliah online tidak semenyenangkan yang dibayangkan, kuliah online membuahkan banyak tugas, mengucur deras bagaikan kran air yang terbuka. Tidak sedikit dosen yang memberikan tugas tanpa disertai dengan memahamkan mahasiswanya. Hal itu berdampak buruk pada mahasiswa, pemahaman tidak didapatkan, stress iya.
Sosiolog sekaligus dosen dari Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tya Pamungkas, menilai kebijakan kuliah secara online untuk mengantisipasi persebaran virus covid-19 dinilai kurang efektif dilakukan di Indonesia. Menurutnya kuliah online justru berdampak membebani mahasiswa terutama bagi mereka yang terbatas akses internetnya. Menurut saya pribadi, kuliah online memang dirasa kurang efektif. Mengapa demikian ? karena kuliah online seharusnya dijalankan dengan menyenangkan, bukan malah memicu stress pada mahasiswa. Alih-alih membantu kesehatan mental mahasiswanya, para dosen justru menjadi stressor dengan memberikan tugas yang berlebih. Bukankah begitu teman?
Namun perlu diketahui juga bahwa tidak semua dosen memberikan tugas kepada mahasiswanya tanpa disertai penjelasan terlebih dahulu, ada beberapa dosen yang memanfaatkan kecanggihan tekonlogi untuk memahamkan mahasiswanya. Dengan kemajuan teknologi di era sekarang, memudahkan kita dalam mengakses dan melakukan segala sesuatunya. Terdapat beberapa aplikasi yang biasa digunakan sebagian dosen untuk melakukan pembelajaran online ini diantaranya: zoom dan google meet. Ada juga dosen yang memanfaatkan Whatsapp Group sebagai sarana alternatif dalam melakukan presentasi atau diskusi. Selain yang telah disebutkan, masih banyak aplikasi yang dijadikan pilihan alternatif, antara lain ; schoology, edmodo, quizizz, google classroom, dan masih banyak lagi lainnya.
Meskipun tidak dilakukan secara tatap muka, setidaknya dapat memberi sedikit pemahaman kepada mahasiswanya.
Alih-alih menjadi solusi ternyata memunculkan masalah baru. Bagaimana ini bisa terjadi? Faktanya, dengan beragamnya aplikasi yang digunakan, kuota internet mahasiswa menjadi cepat habis, Apalagi ketika kuliah dengan media zoom yang dalam satu jamnya bisa menghabiskan sampai satu giga byte kuota internet. Bukankah ini sangat boros sekali? Sehingga untuk meringankan hal tersebut, sudah semestinya pihak kampus memberikan bantuan kepada mahasiswanya baik dalam bentuk kuota internet, bantuan, uang, atau pemotongan UKT pada semester berikutnya.
Senangnya ketika ada angin segar yang dihembuskan oleh Kementrian Agama RI khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dengan mengeluarkan surat edaran pada tanggal 6 April 2020. Kabar baiknya adalah adanya pengurangan/diskon minimal 10% pada UKT semester depan. Hal tersebut menjadi kejutan yang mengembirakan bagi mahasiswa PTKIN. Karena hal tersebut sudah sangat dinantikan oleh mereka semua. Namun apesnya, terdapat kabar diluar dugaan mahasiswaa PTKIN, dan hal ini sangat tidak diharapkan. Seminggu setelah surat edaran itu dikeluarkan, keluar lagi surat edaran baru dari Kemenag.
Surat edaran tersebut menerangkan bahwa adanya pencabutan surat edaran yang lama, dalam artian pengurangan/diskon UKT semester berikutnya dibatalkan. Menteri Agama mengungkapkan bahwa rencana pemberian diskon UKT itu terpaksa harus dibatalkan, karena mendadak ada keputusan Menteri Keuangan yang meminta masing-masing kementerian untuk mengalokasikan anggaran dalam rangka membantu penanganan COVID-19. Di sini, anggaran Kemenag terpotong sebanyak Rp 2 triliun 20 miliar rupiah. Ini seperti kejutan april mop.
Menanggapi pembatalan tersebut mahasiswa tidak tinggal diam, dengan dikomandani oleh DEMA PTKIN Nasional dan SEMA PTKIN Nasional, serta DEMA dan SEMA tiap-tiap PTKIN, mahasiswa PTKIN seluruh Indonesia kompak melawan dengan cara membuat trending hastag #KemenagJagoPHP, hastag tersbut mereka ramaikan pada media sosial, khususnya twitter. Perlawanan ini dinilai efektif, karena hastag tersebut berhasil menjadi trending dan selang beberapa waktu menteri agama menyampaikan maaf dan klarifikasi atas pembatalan diskon UKT tersebut.
Terimakasih sudah membaca
Penulis: Muhammad Asyrof Naf’il Aufari (Baswara 2019)
Editor: Vika Rachmania Hidayah
1 Komentar