oleh : Zakiyatur Rosidah
“Tentu saja aku marah. Aku marah terhadap rasisme. Aku
marah terhadap seksisme. Tapi akhir-akhir ini aku baru menyadari bahwa aku jauh
lebih marah terhadap seksisme daripada rasisme. Karena aku mencintai dan hidup
di antara banyak orang yang mudah mengakui ketidakadilan ras, tetapi tidak
dengan ketidakadilan gender.”
Sepenggal peragraf dalam buku A Feminist Manifesto; Kita Semua Harus Menjadi Feminis ini selalu
terngiang di kepalaku, karena ketika membaca buku ini, aku langsung teringat
pada cerita dari banyak kawan dan pengalamanku sendiri mengenai situasi
seksisme yang kerap kali dianggap wajar, tak tersadari, dan tak dianggap
sebagai problema serius. Parahnya, di circle
orang terdekat sekalipun, malah pikiran kita yang mempertanyakan hal ikhwal
seksisme dipandang tak lumrah dan mengusik tatanan.
Begitu pula dengan Chimamanda Ngozi Adichie, penggubah
buku ini. Adichie adalah seorang perempuan Nigeria, ibu sekaligus perempuan
berkulit warna. Dua ‘identitas’ yang tersemat pada Adichie ini cukup menjadi
biang rasisme dan seksisme dan santer diusik dalam perjalanan peradaban
(ke)manusia(an).
Gabungan dari dua buku bertajuk We Should All Be Feminist dan Dear
Ijeawele; Feminist Manifesto in Fifteen Suggestions ini cukup tipis namun
menunjukkan buah dari keseriusan karena ditulis berdasarkan pengalaman personal
dari kanak-kanak hingga menjadi Ibu, beroleh dari melihat, mendengar
ketidakdilan gender dalam kehidupan sehari-hari bahkan dari hal yang
‘kelihatannya’ sepele.
Dalam buku tersebut, Adichie bercerita, pernah suatu
ketika seorang jurnalis yang berjumpa dengan Adichie di event peluncuran bukunya menyarankan agar ia tak menyebut diri
sebagai seorang feminis. Alasannya, karena feminis termasuk perempuan tak
bahagia, akan sulit mendapatkan suami—dan tentu yang sering salah dipahami,
menjadi feminis berarti perempuan membenci laki-laki.
Hingga pada akhirnya, permenungan Adichie mengenai
feminis membuahkan sebutan eksistensial bagi dirinya sendiri dengan proses: Feminis Bahagia → Feminis Afrika yang
Bahagia → Feminis Afrika Bahagia yang Tidak Membenci Laki-Laki → Feminis Afrika
Bahagia yang Tidak Membenci Laki-Laki dan yang Suka Memakai Lip Gloss dan
Sepatu Hak Tinggi untuk Dirinya Sendiri dan Bukan untuk Mengesankan Laki-Laki.
Adichie juga mencontohkan pengalaman saat ia memasuki
sebuah hotel terbaik di Nigeria. Ia disodori pertanyaan seksis oleh penjaga
pintu masuk, hingga dia menanggapinya “Apa nama dan nomor kamar yang hendak
saya kunjungi? Bisakah saya membuktikan bahwa saya adalah tamu hotel ini dengan
menunjukkan kartu kunci saya?” Tentu, ini juga berangkat dari asumsi umum
masyarakat Nigeria bahwa perempuan yang masuk ke hotel seorang diri pastilah
pekerja seks. Anggapnya, perempuan tak akan bisa menjadi tamu dan membayar sewa
hotel sendiri.
Dalam satu part, Adichie
juga bercerita saat memasuki sebuah restoran di Nigeria. Para pelayan di
restoran itu menyambut laki-laki yang bersamanya dan mengabaikan dirinya. Adichie
tidak menyalahkan laki-laki yang bersamanya. Ia berkata bahwa para pelayan itu
adalah produk dari masyarakat yang telah mengajarkan mereka bahwa laki-laki
lebih penting ketimbang perempuan.
Dunia ini memang dinamis untuk menanggapi dan menjawab
keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam banyak urusan. Namun, nampaknya
laki-laki nyaris tak mengalami rintangan secara kultural yang amat berarti
semisal dalam memimpin, berkarya, berinovasi, bahkan dalam urusan sepele;
bepergian sendirian atau sekadar duduk sendirian. Padahal sebenarnya takdir
biologis laki-laki juga tak sekonyong-konyong membawa kepastian bahwa ia sosok
yang strong, mandiri, lebih bisa
diandalkan—dan hal-hal potensial kuasa lainnya.
Begitulah sekira contoh masalah dari Adichie mengenai
diskriminasi gender. Gender tak terletak pada pengakuan siapa kita sebenarnya,
namun bagaimana kita seyogianya. Adichie membayangkan betapa bebas diri kita
jika tak terbebani dengan ekspektasi-ekspektasi gender yang justru
mendiskriminasi ini. Basis argumennya jelas, bukan menyoal laki-laki ataupun
perempuan, namun kita sama; manusia, yang laik mendapatkan perlakuan yang sama
pula.
“Sesekali kita boleh marah.
Gender sebagaimana fungsinya hari ini merupakan ketidakadilan yang serius. Kita
semua harus marah. Kemarahan memiliki sejarah panjang dalam perannya untuk
membawa perubahan positif. Tapi saya juga penuh harap, karena saya sangat
percaya pada kemampuan manusia untuk mencipta ulang dirinya kembali dalam
bentuk yang lebih baik,” tulis Adichie menanggapi pemarjinalan perempuan yang ia
alami sendiri baik di Nigeria, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain yang
pernah ia singgahi.
Berbeda dengan bagian sebelumnya, buku kedua, Dear Ijeawele dianggit berdasar pada
pertanyaan (yang kelihatannya) sederhana namun sebenarnya rumit dari kawan yang
juga sudah menjadi seorang Ibu, “bagaimana cara membesarkan anak perempuan
menjadi seorang feminis?”. Buku ini semacam surat yang diperpanjang berisi lima belas saran.
Mengasuh anak perempuan, dalam berbagai kebudayaan lebih memiliki
beban moral. Apalagi diiringi dan ditegakkan dengan bahasa sehari-hari yang
digunakan untuk banyak mengatur, dengan dalih menjaga, menghindarkan, mencegah,
menjauhkan.
Misal, dalam buku ini Adichie bercerita menyoal
kenalannya di Amerika yang sudah dikaruniai putra berumur satu tahun yang telah belajar di playground. Ketika di playground¸
teman Adichie memerhatikan para ibu yang memiliki anak perempuan sedang
memberitahu anaknya untuk “jangan sentuh ini, tidak boleh begitu, diam dan
bersikap baiklah” dan ujaran serupa. Sementara, laki-laki tak sering
dikendalikan oleh ibunya, dibebaskan untuk mengeksplor dirinya, bahkan tak
pernah diomeli untuk berbuat baik dan diam. Sejak kecil, hanya karena dia
perempuan, secara tak sadar sang ibu menanamkan patron-patron moralitas (a la
orang dewasa) agar ‘terlihat cukup baik’ dalam pranata sosial. Dengan
menggunakan kata kunci jangan, diam,
berbuat baiklah, dan hal serupa justru Ibu-ibu tersebut malah menebarkan
benih-benih seksisme tanpa sadar.
Satu kisah yang serupa juga dialami oleh putri Adichie.
Di laman Facebooknya, Adichie menulis surat dan menceritakan bahwa saudarinya
mempunyai tawaran untuk membelikannya satu set sisir untuk putrinya, namun
Adichie menolak. Ia tidak akan menyesuaikan diri dengan cara itu karena tak
akan membiarkan putrinya mengalami rasa sakit karena masyarakat mengharapkan
kerapian dengan ‘standar’ tertentu. Putrinya harus bahagia dengan tidak
terlampau memikirkan standar. Surat tersebut telah menginspirasi banyak
pembacanya agar tak melulu memenuhi standar a la negaranya jika hal tersebut
malah membikin diri tersiksa.
“While Adichie was in Lagos, a
woman who’d read it approached her in a shop and said, “here’s my daughter,
look at her hair.’ She had very loose cornrows that were not neat according to
Nigerians. And she said, ‘You inspired that. My daughter is happier, I’m
happier.’ And do you know, it was the highlight of my month.”
Sebagai pembaca, aku bersyukur dan beroleh kebahagiaan
tersendiri karena bacaan bertema seperti feminisme yang berat dan sungguh
membosankan justru mendapatkan ruh dengan gaya cerita dan kemasan yang sangat
lugas dan ringan. Sindiran-sindiran jenakanya
sangat relate. Adichie piawai
menarasikan konsep feminisme dengan kalimat yang mudah dimengerti. Ia
menghadirkan cerita-cerita dari lanskap pribadi yang tak ngotot dan tak
menjadikan feminisme sebagai sebuah retorika baru di dunia modern. Hal ini juga
dijelaskan Adichie dalam transkrip interview-nya
di The Guardian:
“Adichie’s advice is not only
to provide children with alternatives—to empower boys and girls to understand
there is no single way to be—but also to understand that the only universal in
this world is difference. In terms of the evolution of feminism, these are not
new lessons, but that is rather Adichie’s point. She is not writing for other
feminist writers, and shows some frustration at what she sees as the solipsism
of much feminist debate.”
Manusia, terutama perempuan, banyak yang hidup dalam
otoritas politis dan hierarki sosial yang mapan tapi sebetulnya rapuh. Namun
seperti yang dikatakan Chimamanda Ngozi Adichie dalam buku ini, “budaya tak
membentuk manusia. Manusialah yang membentuk budaya.”
Arkian, menjadi feminis bukanlah serta-merta, tetapi
menjadi feminis berarti harus berjuang dan berupaya agar kesetaraan mewujud
sebagaimana mestinya.[]
Judul: A Feminist Manifesto; Kita Semua Harus Menjadi
Feminis
Karya: Chimamanda Ngozi Adichie
Pengalih bahasa: Winda A.
Penerbit: Odyssee Publishing
Cetakan: Pertama, Agustus 2019
Tebal: 92 halaman
0 Komentar