Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

Menjadi Feminis



Sampul Buku A Feminist  Manifesto/google.com 

 oleh : Zakiyatur Rosidah 



“Tentu saja aku marah. Aku marah terhadap rasisme. Aku marah terhadap seksisme. Tapi akhir-akhir ini aku baru menyadari bahwa aku jauh lebih marah terhadap seksisme daripada rasisme. Karena aku mencintai dan hidup di antara banyak orang yang mudah mengakui ketidakadilan ras, tetapi tidak dengan ketidakadilan gender.”

Sepenggal peragraf dalam buku A Feminist Manifesto; Kita Semua Harus Menjadi Feminis ini selalu terngiang di kepalaku, karena ketika membaca buku ini, aku langsung teringat pada cerita dari banyak kawan dan pengalamanku sendiri mengenai situasi seksisme yang kerap kali dianggap wajar, tak tersadari, dan tak dianggap sebagai problema serius. Parahnya, di circle orang terdekat sekalipun, malah pikiran kita yang mempertanyakan hal ikhwal seksisme dipandang tak lumrah dan mengusik tatanan.

Begitu pula dengan Chimamanda Ngozi Adichie, penggubah buku ini. Adichie adalah seorang perempuan Nigeria, ibu sekaligus perempuan berkulit warna. Dua ‘identitas’ yang tersemat pada Adichie ini cukup menjadi biang rasisme dan seksisme dan santer diusik dalam perjalanan peradaban (ke)manusia(an).

Gabungan dari dua buku bertajuk We Should All Be Feminist dan Dear Ijeawele; Feminist Manifesto in Fifteen Suggestions ini cukup tipis namun menunjukkan buah dari keseriusan karena ditulis berdasarkan pengalaman personal dari kanak-kanak hingga menjadi Ibu, beroleh dari melihat, mendengar ketidakdilan gender dalam kehidupan sehari-hari bahkan dari hal yang ‘kelihatannya’ sepele.

Dalam buku tersebut, Adichie bercerita, pernah suatu ketika seorang jurnalis yang berjumpa dengan Adichie di event peluncuran bukunya menyarankan agar ia tak menyebut diri sebagai seorang feminis. Alasannya, karena feminis termasuk perempuan tak bahagia, akan sulit mendapatkan suami—dan tentu yang sering salah dipahami, menjadi feminis berarti perempuan membenci laki-laki.

Hingga pada akhirnya, permenungan Adichie mengenai feminis membuahkan sebutan eksistensial bagi dirinya sendiri dengan proses: Feminis Bahagia → Feminis Afrika yang Bahagia → Feminis Afrika Bahagia yang Tidak Membenci Laki-Laki → Feminis Afrika Bahagia yang Tidak Membenci Laki-Laki dan yang Suka Memakai Lip Gloss dan Sepatu Hak Tinggi untuk Dirinya Sendiri dan Bukan untuk Mengesankan Laki-Laki.

Adichie juga mencontohkan pengalaman saat ia memasuki sebuah hotel terbaik di Nigeria. Ia disodori pertanyaan seksis oleh penjaga pintu masuk, hingga dia menanggapinya “Apa nama dan nomor kamar yang hendak saya kunjungi? Bisakah saya membuktikan bahwa saya adalah tamu hotel ini dengan menunjukkan kartu kunci saya?” Tentu, ini juga berangkat dari asumsi umum masyarakat Nigeria bahwa perempuan yang masuk ke hotel seorang diri pastilah pekerja seks. Anggapnya, perempuan tak akan bisa menjadi tamu dan membayar sewa hotel sendiri.

Dalam satu part, Adichie juga bercerita saat memasuki sebuah restoran di Nigeria. Para pelayan di restoran itu menyambut laki-laki yang bersamanya dan mengabaikan dirinya. Adichie tidak menyalahkan laki-laki yang bersamanya. Ia berkata bahwa para pelayan itu adalah produk dari masyarakat yang telah mengajarkan mereka bahwa laki-laki lebih penting ketimbang perempuan.
Dunia ini memang dinamis untuk menanggapi dan menjawab keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam banyak urusan. Namun, nampaknya laki-laki nyaris tak mengalami rintangan secara kultural yang amat berarti semisal dalam memimpin, berkarya, berinovasi, bahkan dalam urusan sepele; bepergian sendirian atau sekadar duduk sendirian. Padahal sebenarnya takdir biologis laki-laki juga tak sekonyong-konyong membawa kepastian bahwa ia sosok yang strong, mandiri, lebih bisa diandalkan—dan hal-hal potensial kuasa lainnya.

Begitulah sekira contoh masalah dari Adichie mengenai diskriminasi gender. Gender tak terletak pada pengakuan siapa kita sebenarnya, namun bagaimana kita seyogianya. Adichie membayangkan betapa bebas diri kita jika tak terbebani dengan ekspektasi-ekspektasi gender yang justru mendiskriminasi ini. Basis argumennya jelas, bukan menyoal laki-laki ataupun perempuan, namun kita sama; manusia, yang laik mendapatkan perlakuan yang sama pula.

“Sesekali kita boleh marah. Gender sebagaimana fungsinya hari ini merupakan ketidakadilan yang serius. Kita semua harus marah. Kemarahan memiliki sejarah panjang dalam perannya untuk membawa perubahan positif. Tapi saya juga penuh harap, karena saya sangat percaya pada kemampuan manusia untuk mencipta ulang dirinya kembali dalam bentuk yang lebih baik,” tulis Adichie menanggapi pemarjinalan perempuan yang ia alami sendiri baik di Nigeria, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain yang pernah ia singgahi.

Berbeda dengan bagian sebelumnya, buku kedua, Dear Ijeawele dianggit berdasar pada pertanyaan (yang kelihatannya) sederhana namun sebenarnya rumit dari kawan yang juga sudah menjadi seorang Ibu, “bagaimana cara membesarkan anak perempuan menjadi seorang feminis?”. Buku ini semacam surat  yang diperpanjang berisi lima belas saran.

Mengasuh anak perempuan, dalam berbagai kebudayaan lebih memiliki beban moral. Apalagi diiringi dan ditegakkan dengan bahasa sehari-hari yang digunakan untuk banyak mengatur, dengan dalih menjaga, menghindarkan, mencegah, menjauhkan.

Misal, dalam buku ini Adichie bercerita menyoal kenalannya di Amerika yang sudah dikaruniai putra berumur satu tahun yang  telah belajar di playground. Ketika di playground¸ teman Adichie memerhatikan para ibu yang memiliki anak perempuan sedang memberitahu anaknya untuk “jangan sentuh ini, tidak boleh begitu, diam dan bersikap baiklah” dan ujaran serupa. Sementara, laki-laki tak sering dikendalikan oleh ibunya, dibebaskan untuk mengeksplor dirinya, bahkan tak pernah diomeli untuk berbuat baik dan diam. Sejak kecil, hanya karena dia perempuan, secara tak sadar sang ibu menanamkan patron-patron moralitas (a la orang dewasa) agar ‘terlihat cukup baik’ dalam pranata sosial. Dengan menggunakan kata kunci jangan, diam, berbuat baiklah, dan hal serupa justru Ibu-ibu tersebut malah menebarkan benih-benih seksisme tanpa sadar.

Satu kisah yang serupa juga dialami oleh putri Adichie. Di laman Facebooknya, Adichie menulis surat dan menceritakan bahwa saudarinya mempunyai tawaran untuk membelikannya satu set sisir untuk putrinya, namun Adichie menolak. Ia tidak akan menyesuaikan diri dengan cara itu karena tak akan membiarkan putrinya mengalami rasa sakit karena masyarakat mengharapkan kerapian dengan ‘standar’ tertentu. Putrinya harus bahagia dengan tidak terlampau memikirkan standar. Surat tersebut telah menginspirasi banyak pembacanya agar tak melulu memenuhi standar a la negaranya jika hal tersebut malah membikin diri tersiksa.

“While Adichie was in Lagos, a woman who’d read it approached her in a shop and said, “here’s my daughter, look at her hair.’ She had very loose cornrows that were not neat according to Nigerians. And she said, ‘You inspired that. My daughter is happier, I’m happier.’ And do you know, it was the highlight of my month.”

Sebagai pembaca, aku bersyukur dan beroleh kebahagiaan tersendiri karena bacaan bertema seperti feminisme yang berat dan sungguh membosankan justru mendapatkan ruh dengan gaya cerita dan kemasan yang sangat lugas dan ringan. Sindiran-sindiran jenakanya sangat relate. Adichie piawai menarasikan konsep feminisme dengan kalimat yang mudah dimengerti. Ia menghadirkan cerita-cerita dari lanskap pribadi yang tak ngotot dan tak menjadikan feminisme sebagai sebuah retorika baru di dunia modern. Hal ini juga dijelaskan Adichie dalam transkrip interview-nya di The Guardian:

“Adichie’s advice is not only to provide children with alternatives—to empower boys and girls to understand there is no single way to be—but also to understand that the only universal in this world is difference. In terms of the evolution of feminism, these are not new lessons, but that is rather Adichie’s point. She is not writing for other feminist writers, and shows some frustration at what she sees as the solipsism of much feminist debate.”

Manusia, terutama perempuan, banyak yang hidup dalam otoritas politis dan hierarki sosial yang mapan tapi sebetulnya rapuh. Namun seperti yang dikatakan Chimamanda Ngozi Adichie dalam buku ini, “budaya tak membentuk manusia. Manusialah yang membentuk budaya.”

Arkian, menjadi feminis bukanlah serta-merta, tetapi menjadi feminis berarti harus berjuang dan berupaya agar kesetaraan mewujud sebagaimana mestinya.[]

Judul: A Feminist Manifesto; Kita Semua Harus Menjadi Feminis
Karya: Chimamanda Ngozi Adichie
Pengalih bahasa: Winda A.
Penerbit: Odyssee Publishing
Cetakan: Pertama, Agustus 2019
Tebal: 92 halaman


Posting Komentar

0 Komentar