Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

TIDAK AKAN AKU ULANGI KESALAHAN YANG SAMA

(istockphoto.com)

Oleh: Moh Kevin Khoirul Rohman

 

            Sinar matahari bersinar lembut di balik jendela kaca kamar Sipa, menerobos tirai yang tak sepenuhnya tertutup. Hari baru, semangat baru, pikirnya. Namun pagi harinya ada luka lama yang tak kunjung sembuh. Sipa bangkit, merapikan karpet dan berangkat kerja. Sebagai manajer proyek di perusahaan terkemuka, Anda harus berpenampilan baik dan profesional. Penampilannya mencerminkan posisi dan tanggung jawabnya. Di usianya yang ke-28, Sipa telah mencapai posisi yang diidam-idamkan banyak orang. Setelah kesuksesannya ini ia menyembunyikan luka dalam yang masih membekas di dirinya, bagai bayangan yang tak kunjung hilang.

 Dua tahun silam, Sipa selalu sibuk, pekerjaannya diutamakan. Ambisinya kejam, dia rela mengorbankan segalanya untuk mencapai tujuan dan imbalan. akhirnya kebijaksanaan ini membawanya ke bagian penting dalam hidupnya. Tawaran ini datang dengan banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan dalam waktu singkat. Namun di hari yang sama, Sipa mendengar tentang kecelakaan yang dialami ayahnya dan ayahnya memerlukan operasi besar segera. Ibunya memanggilnya untuk pulang menemuiayahnya yang sudah lama sakit. Namun, Sipa sangat fokus pada pekerjaannya. "Bu, masih banyak yang harus aku kerjakan. Aku tidak bisa pulang sekarang," katanya lembut, "Doa saja, semoga Ayah segera membaik," ujarnya dingin. Sipa merasa telah mengambil pilihan yang tepat. Proyek ini sukses dan dipuji oleh atasan saya. Namun, ketika dia kembali ke rumah setelah menyelesaikan proyek tersebut, dia menemukan rumahnya dalam kondisi yang memprihatinkan. Ayahnya telah pergi selamanya dan Sipa tidak bisa mengucapkan selamat tinggal. Tidak ada waktu untuk menebus kesalahan atau meminta maaf. Saat itu, yang bisa ia lakukan hanyalah menangis di sudut kamar sambil memeluk foto ayahnya yang selalu tersenyum dan penuh harapan. Sejak kejadian itu, kehidupan Sipa berubah drastis. Kesuksesan yang dulu ia banggakan kini terasa hampa. Ia merasa telah mengkhianati keluarganya, terutama ayahnya yang selalu mendukung setiap keputusannya. Setiap kali dia melihat penghargaan di dinding kantornya, dia merasa sangat menyesal. Ayahnya meninggal dan segalanya terasa tidak berarti. Kini, dua tahun setelah kejadian itu, Sipa masih berusaha memulihkan kesedihannya. Dia bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ia mulai belajar menyeimbangkan hidupnya dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga dan orang-orang terkasihnya. Terlepas dari upayanya, rasa bersalah masih tetap ada dan menghantuinya di setiap langkah. Di kantor, Sipa berusaha tampil ceria dan profesional seperti biasanya. Ia menjalankan tugasnya dengan baik dan memberi contoh bagi rekan-rekannya. Namun, di balik senyum ramahnya itu, ia membawa beban yang tidak bisa ia ceritakan kepada siapa pun. Sore itu, saat dia sedang mengerjakan laporannya, telepon berdering. Sudah lama ibunya tidak menghubunginya ditengah hari kerjanya seperti ini.

 “Halo, Ma,” sapa Sipa dengan nada yang penuh ceria yang dibuat-buat.

            "Sipa, maaf ibu mengganggu waktu kerja kamu Nak. Ibu ingin mengabari mu, adik kamu Ike sedang sakit. Kata dokter, dia perlu dioperasi minggu depan," suara ibunya terdengar berat, seperti sedang menahan air matanya. Sipa terdiam beberapa saat, dan kenangan dua tahun lalu kembali padanya.

 “Minggu depan? Ibu, jangan khawatir, Sipa janji nanti Sipa akan pulang,” jawab Sipa langsung tanpa ragu. Berbeda dengan dua tahun lalu, dia mengambil keputusan ini tanpa banyak berpikir. Kali ini dia tidak mau ragu lagi. Dia belajar dari kesalahannya.

            Sipa segera meminta ijin cuti dari kantornya. Meskipun dia mempunyai proyek besar yang sedang dikerjakan, dia tahu bahwa keluarga lebih penting. Untungnya, atasannya memahami situasinya dan memberikan izin. Sipa segera memesan tiket pesawat untuk pulang ke kampung halamannya. Dia tahu tidak ada alasan untuk tidak lagi berada di dekat keluarganya.

 Di rumah sakit, Sipa melihat Ike terbaring tak berdaya dengan infus di tangannya. Sang adik yang tadinya ceria dan penuh semangat, kini tampak pucat tak berdaya. Sipa mendekat dan dengan lembut meraih tangan Ike.

 “Kakak dateng….maaf ya baru sempat pulang,”kata sipa lirih sambil mengusap air matanya.

 Ike hanya tersenyum lemah dan berusaha memberikan kekuatan pada kakaknya. “Kakak tidak perlu khawati ike pasti kuat kok,” jawab ike dengan suara lemas dan menahan sakit.

 Hari-harinya, Sipa dengan patuh menemani adiknya mempersiapkan berbagai tes dan operasi. Dia bertanggung jawab atas manajemen rumah sakit secara keseluruhan dan memastikan Ike menerima perawatan terbaik. Dalam kesibukannya, Sipa merasakan perasaan yang telah lama hilang yaitu rasa kedekatannya dengan keluarganya. Waktu yang dihabiskan bersama mereka terasa begitu berharga, dan Ike menyadari bahwa itulah yang selama ini ia cari.

 Pagi itu, saat operasi Ike dimulai, Sipa dan ibunya menunggu dengan cemas di luar ruang operasi. Setiap menit terasa sangat lama, dan Sipa dalam hati berdoa agar semuanya baik-baik saja. Tak lama kemudian, dokter datang dan memberi kabar gembira bahwa operasinya berhasil. Sipa merasa lega seolah ada beban yang terangkat dari dadanya.

 Di waktu itu, Sipa menyadari bahwa ada suatu hal yang penting menurutnya: kesuksesan bukan tentang seberapa tinggi posisi yang ia capai atau seberapa besar penghasilan yang ia dapatkan. Kesuksesan sejati adalah saat ia bisa hadir untuk orang-orang yang ia cintai, memberi waktu dan perhatian yang tulus. Tidak ada lagi ambisi yang lebih besar dari keluarga, tidak ada lagi alasan untuk mengabaikan mereka.

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar