Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

“Negara Demokrasi”, Katanya

doc. internet

Oleh: A. Syarifuddin*

            Sentimen agama selalu menjadi masalah utama di negeri kita tercinta, Indonesia. Bermula dari kasus penistaan agama yang berujung pada jihad fisabilillah hingga penistaan ideologi dasar negara. Satu persatu isu dilansirkan oleh pihak-pihak tertentu yang saling tikam ini silih berganti mewarnai hari di negara yang persatuannya nyaris terpecah belah. Hingga terkadang, ingin dengan lantang ku katakan “Kalian seperti anak kecil yang berebut ice cream!,”. Lucu sekali negeri ini, bukan?

            Orang awam yang tidak tahu-menahu pun tak luput untuk dijadikan alat demi suatu kepentingan golongan tertentu. Mereka (orang awam-red) cenderung dihasut dengan berbagai cara, seperti atas nama agama, Al-Qur’an hingga Tuhan. Ketidaktahuan mereka pun mengakibatkan mudah terpancingnya amarah mereka ketika hasutan yang diberikan sudah menuju ke arah keyakinan. Misalnya pada peristiwa yang sedang marak-maraknya dibicarakan adalah tindak lanjut kasus Basuki Tjahya Purnama atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok. Bermula dari ucapan Gubernur DKI Jakarta ini pada saat ia berkampanye, yang menurut beberapa golongan di dalam ucapannya mengandung unsur merendahkan isi kandungan Al-Qur’an yakni QS.Al-Maidah. Kasus ini semakin fenomenal dengan adanya Gerakan 212 dan 141 yang digaungkan oleh ORMAS (Organisasi Massa) Pembela Islam. Mereka mengaku merasa tidak terima atas perbuatan Ahok yang sudah menyangkutkan masalah keyakinan pada perihal politik.

            Setelah munculnya kasus Gubernur Jakarta ini, kasus-kasus lain yang mulai bermunculan. Seperti, pada Senin, (30/01) di Polda (Polisi Daerah) Jawa Barat yang menangani pemanggilan Habib Rizieq sebagai saksi kasus penistaan ideologi negara. Pihak Polda menyita bendera tauhid dengan warna dasar hitam yang dibawa oleh salah pendukung Habib Rizieq. Padahal, beberapa waktu sebelumnya sempat terjadi pula kasus yang sama yakni penistaan bendera pustaka. Namun, pihak tersangka dibuktikan tidak bersalah karena ukuran bendera yang tidak sesuai dengan UU No 24 Tahun 2009.

            Selain kasus-kasus yang diceritakan di atas, ke depannya pun akan bermunculan kasus-kasus lain yang memakai sandang atas nama perbedaan baik agama, ras, budaya dan lain sebagainya. Pasalnya, adanya kasus-kasus yang dilansir oleh awak media ini pastilah memiliki pihak pendukung (pro) dan pihak yang tidak sependapat (kontra). Masing-masing pihak merasa dirinyalah yang paling benar. Padahal, jika kita mau memandang esensialitas bentuk negara kita sebagai negara demokrasi dimana di dalamnya terdapat pelbagai ras, suku, bahasa, budaya dan agama kita akan mampu menghargai suatu perbedaan menjadi satu kekuatan untuk mempererat persatuan. Dengan kata lain, kita harus menyadari bahwasanya kita memiliki satu identitas bangsa yakni “Bhineka Tunggal Ika” atau “Berbeda-Beda Tetapi Tetap Satu Jua”.

*Penulis adalah anggota Divisi Kajian, Biro Pers dan Wacana 
Rayon Sains dan Teknologi Masa Juang 2016-2017 serta anggota UKM Riset dan Teknologi

Posting Komentar

0 Komentar