Sentimen agama selalu menjadi masalah
utama di negeri kita tercinta, Indonesia. Bermula dari kasus penistaan agama
yang berujung pada jihad fisabilillah hingga penistaan ideologi dasar negara.
Satu persatu isu dilansirkan oleh pihak-pihak tertentu yang saling tikam ini silih
berganti mewarnai hari di negara yang persatuannya nyaris terpecah belah.
Hingga terkadang, ingin dengan lantang ku katakan “Kalian seperti anak kecil
yang berebut ice cream!,”. Lucu
sekali negeri ini, bukan?
Orang
awam yang tidak tahu-menahu pun tak luput untuk dijadikan alat demi suatu
kepentingan golongan tertentu. Mereka (orang awam-red) cenderung dihasut dengan
berbagai cara, seperti atas nama agama, Al-Qur’an hingga Tuhan. Ketidaktahuan
mereka pun mengakibatkan mudah terpancingnya amarah mereka ketika hasutan yang
diberikan sudah menuju ke arah keyakinan. Misalnya pada peristiwa yang sedang
marak-maraknya dibicarakan adalah tindak lanjut kasus Basuki Tjahya Purnama
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok. Bermula dari ucapan Gubernur DKI
Jakarta ini pada saat ia berkampanye, yang menurut beberapa golongan di dalam
ucapannya mengandung unsur merendahkan isi kandungan Al-Qur’an yakni
QS.Al-Maidah. Kasus ini semakin fenomenal dengan adanya Gerakan 212 dan 141
yang digaungkan oleh ORMAS (Organisasi Massa) Pembela Islam. Mereka mengaku
merasa tidak terima atas perbuatan Ahok yang sudah menyangkutkan masalah
keyakinan pada perihal politik.
Setelah
munculnya kasus Gubernur Jakarta ini, kasus-kasus lain yang mulai bermunculan.
Seperti, pada Senin, (30/01) di Polda (Polisi Daerah) Jawa Barat yang menangani
pemanggilan Habib Rizieq sebagai saksi kasus penistaan ideologi negara. Pihak
Polda menyita bendera tauhid dengan warna dasar hitam yang dibawa oleh salah
pendukung Habib Rizieq. Padahal, beberapa waktu sebelumnya sempat terjadi pula
kasus yang sama yakni penistaan bendera pustaka. Namun, pihak tersangka
dibuktikan tidak bersalah karena ukuran bendera yang tidak sesuai dengan UU No
24 Tahun 2009.
Selain
kasus-kasus yang diceritakan di atas, ke depannya pun akan bermunculan
kasus-kasus lain yang memakai sandang atas nama perbedaan baik agama, ras,
budaya dan lain sebagainya. Pasalnya, adanya kasus-kasus yang dilansir oleh
awak media ini pastilah memiliki pihak pendukung (pro) dan pihak yang tidak
sependapat (kontra). Masing-masing pihak merasa dirinyalah yang paling benar.
Padahal, jika kita mau memandang esensialitas bentuk negara kita sebagai negara
demokrasi dimana di dalamnya terdapat pelbagai ras, suku, bahasa, budaya dan
agama kita akan mampu menghargai suatu perbedaan menjadi satu kekuatan untuk
mempererat persatuan. Dengan kata lain, kita harus menyadari bahwasanya kita
memiliki satu identitas bangsa yakni “Bhineka
Tunggal Ika” atau “Berbeda-Beda Tetapi Tetap Satu Jua”.
*Penulis adalah anggota Divisi Kajian, Biro Pers dan Wacana
Rayon Sains dan Teknologi Masa Juang 2016-2017 serta anggota UKM Riset dan Teknologi
0 Komentar