Oleh: Aulia Putri Junitasari
Abstrak
Esai ini mengelaborasikan tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW di Semarang
dan Demak, dengan fokus pada persamaan, perbedaan, nilai-nilai yang terkandung,
serta pentingnya pelestarian tradisi di era modern. Berdasarkan kajian
literatur dan riset lapangan, ditemukan bahwa kedua daerah memiliki bentuk
pelaksanaan yang khas tetapi tetap mengedepankan nilai religius, sosial, dan
budaya. Pelestarian tradisi ini relevan dengan nilai-nilai Pancasila dan teori
kewarganegaraan, serta dapat diadaptasi melalui teknologi tanpa menghilangkan
esensi nilai-nilainya. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman
tentang keberagaman tradisi Maulid Nabi di Indonesia.
Kata Kunci: Maulid Nabi, Tradisi Lokal,
Pelestarian Budaya, Pancasila, Kewarganegaraan.
Pendahuluan
Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu perayaan penting dalam
tradisi umat Islam di Indonesia. Tidak hanya sebagai momen memperingati
kelahiran Nabi Muhammad, perayaan ini juga menjadi wahana untuk meneladani
ajaran-ajaran beliau, mempererat ukhuwah Islamiyah, dan memperkuat
solidaritas sosial. Setiap daerah memiliki keunikan dalam pelaksanaan tradisi
Maulid Nabi, termasuk di Semarang dan Demak. Dalam esai ini, penulis akan
mengelaborasikan tradisi Maulid Nabi di kedua daerah tersebut, mengulas nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya, serta menganalisis pentingnya pelestarian tradisi
ini di era modern.[1]
Di Semarang, perayaan Maulid Nabi dilakukan dengan sederhana namun
khidmat. Kegiatan utama meliputi pembacaan shalawat seperti Shalawat Badar dan
Shalawat Nariyah,[2]
ceramah keagamaan, serta tradisi tumpengan atau selametan
sebagai simbol syukur kepada Allah SWT dan penghormatan kepada Nabi Muhammad
SAW. Selain itu, diadakan pawai melibatkan anak-anak dan remaja yang mengenakan
pakaian tradisional sambil membawa atribut bertuliskan nama Nabi Muhammad.
Kegiatan sosial seperti pembagian makanan kepada masyarakat kurang mampu juga
menjadi bagian dari tradisi ini, mencerminkan kepedulian sosial dan semangat
kebersamaan.
Sementara itu, tradisi Maulid Nabi di Demak, khususnya di Kecamatan
Karanganyar, memiliki nuansa unik yang dikenal dengan sebutan Lebaran
Maulid atau Bodo Mulud. Berdasarkan hasil riset Sri Isnani
Setiyaningsih, Lebaran Maulid adalah acara puncak perayaan Maulid Nabi
yang dilakukan turun-temurun, diwariskan melalui pengajian dan teladan para
sesepuh masyarakat.[3]
Perayaan ini ditandai dengan pembacaan teks puitis dari kitab Al-Barzanji
dan Al-Diba'i secara kolektif dari pagi hingga malam, pemberian
sedekah, tradisi ater-ater (mengantar makanan ke tetangga), dan
kegiatan makan bersama atau mayoran sebagai bentuk rasa syukur dan
upaya menolak bala.[4]
Semua kegiatan ini mengandung makna spiritual dan sosial yang mendalam,
mempererat hubungan antarwarga serta meneguhkan kecintaan kepada Nabi Muhammad
SAW.[5]
Baik tradisi di Semarang maupun Demak, keduanya mengandung nilai-nilai
penting yang relevan dengan kehidupan bermasyarakat. Nilai religius tampak
jelas dalam pembacaan shalawat, ceramah keagamaan, dan doa bersama sebagai
upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT serta meneladani akhlak Nabi Muhammad.
Nilai sosial tercermin dalam gotong royong, kegiatan berbagi makanan, dan
kebersamaan dalam setiap rangkaian perayaan. Nilai budaya pun turut hadir
melalui penggabungan unsur seni, seperti musik religi, pawai budaya, dan
pembacaan teks puitis yang diwariskan secara turun-temurun.
Pelestarian tradisi Maulid Nabi menjadi semakin penting di era modern,
terutama ketika budaya luar dan arus globalisasi berpotensi menggeser tradisi
lokal. Tradisi ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua
"Kemanusiaan yang adil dan beradab" dan sila ketiga "Persatuan
Indonesia."[6]
Dalam sila kedua, pelaksanaan Maulid Nabi mengajarkan penghargaan terhadap
sesama manusia dengan penuh kasih sayang, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad
SAW. Sedangkan sila ketiga tercermin dalam semangat kebersamaan dan persatuan
antarwarga tanpa membedakan suku, ras, maupun agama.[7]
Berdasarkan teori kewarganegaraan, pelestarian tradisi ini juga memperkuat
identitas budaya lokal dan rasa cinta tanah air, bukan sekadar status legal,
melainkan tanggung jawab sosial dan budaya sebagai warga negara.[8]
Adaptasi tradisi Maulid Nabi dengan kemajuan teknologi juga menjadi
peluang penting. Seperti di Semarang, ceramah atau pembacaan shalawat bisa
disebarluaskan melalui media sosial agar menjangkau generasi muda yang lebih
akrab dengan teknologi digital. Hal ini sejalan dengan pendapat penulis bahwa
pelestarian tradisi tidak harus dilakukan secara kaku dan monoton, tetapi dapat
dikemas secara kreatif tanpa menghilangkan esensi nilai-nilainya.[9]
Namun, riset di Demak menunjukkan bahwa pelestarian tradisi juga memerlukan
keterlibatan langsung masyarakat dalam praktik ritual, guna menjaga keaslian
makna dan simbol yang diwariskan para leluhur.
Kesimpulan
Kesimpulannya, tradisi Maulid Nabi di Semarang dan Demak memiliki
banyak kesamaan dalam nilai dan tujuannya, meskipun berbeda dalam bentuk dan
nuansa pelaksanaan. Keduanya merupakan warisan budaya yang penting untuk
dilestarikan di era modern, baik melalui pelaksanaan tradisional maupun
adaptasi kreatif dengan teknologi. Pelestarian tradisi ini harus tetap menjaga
esensi nilai-nilai keagamaan, sosial, dan budaya, sehingga mampu memberikan
manfaat berkelanjutan bagi masyarakat Indonesia.[10]
Daftar Pustaka
Al-Qur'an, Surat Al-Ahzab ayat 56.
Isnani Setiyaningsih, Sri. "Lebaran Maulid: Tinjauan Bentuk dan
Nuansa Pelaksanaan Tradisi Masyarakat Demak." Laporan Riset. Fakultas
Sains dan Teknologi, UIN Walisongo Semarang, 2022.
Kuntowijoyo. (2023). Nilai-nilai Pancasila dalam Tradisi Keagamaan
Masyarakat Indonesia. Jurnal Ketahanan Nasional, 25(3), 56-71.
Nashir, H. (2021). Melestarikan Tradisi Lokal di Era Global: Tantangan
dan Strategi. Jurnal Sosiologi Agama, 15(1), 88-102.
Rahman, A. (2021). Shalawat Badar dan Nariyah: Tradisi Lisan dalam
Perayaan Maulid Nabi di Jawa Tengah. Jurnal Sejarah dan Budaya Islam, 7(2),
210-225.
Rosyid, N. (2022). Maulid Nabi dalam
Perspektif Teori Kewarganegaraan Budaya. Jurnal Civics dan Kenegaraan, 9(1),
112-125.
[1] Sri Isnani Setiyaningsih, “Lebaran Maulid: Tinjauan Bentuk dan Nuansa
Pelaksanaan Tradisi Masyarakat Demak,” Laporan Riset, Fakultas Sains dan
Teknologi, UIN Walisongo Semarang, 2022, hlm. Iv.
[2] Rahman, Abdul. “Shalawat Badar dan Nariyah: Tradisi Lisan dalam
Perayaan Maulid Nabi di Jawa Tengah.” Jurnal Sejarah dan Budaya Islam, Vol. 7,
No. 2 (2021): 210-225.
[3] Ibid., hlm. Iv-v.
[4] Ibid., hlm. 58.
[5] Ibid., hlm. 59-84.
[6] Kuntowijoyo. “Nilai-nilai Pancasila dalam Tradisi Keagamaan Masyarakat
Indonesia.” Jurnal Ketahanan Nasional, Vol. 25, No. 3 (2023): 56-71.
[7] Ibid., hlm. 90.
[8] Rosyid, Nur. “Maulid Nabi dalam Perspektif Teori Kewarganegaraan
Budaya.” Jurnal Civics dan Kenegaraan, Vol. 9, No. 1 (2022): 112-125.
[9] Nashir, Haedar. “Melestarikan Tradisi Lokal di Era Global: Tantangan
dan Strategi.” Jurnal Sosiologi Agama, Vol. 15, No. 1 (2021): 88-102.
[10] Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat
56.
0 Komentar