Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

Gerakan Perempuan: Antara Perempuan dan Politik Gender

 “Gerakan Perempuan: Antara Perempuan dan Politik Gender”

Oleh : Sahrul Ramadhani


Gambar : Pelatihan kader dasar

A.    Pendahuluan

            Dalam konteks pembangunan, isu-isu perempuan telah banyak diperbincangkan seperti diskriminasi upah buruh, penganiayaan para TKW, pemerkosaan dan berbagai tindak kriminal terhadap perempuan banyak terjadi di sekeliling kita. Dalam situasi semacam itu berkembang berbagai gagasan tentang kemajuan perempuan. Diklasifikasi dalam empat sub bahasan yaitu: pertama, perempuan dan akar kultural ketimpangan gender, bahasan ini dimaksud untuk memasuki wilayah bahasan inti agar ditemukan kejelasan sejarah terjadinya ketimpangan gender. Kedua, konstelasi gerakan perempuan di Indonesia, dimaksud untuk melakukan pemblegetan terhadap gerakan perempuan di Indonesia sehingga dapat ditemukan titik masalah. Ketiga, Antara kepentingan perempuan dan politik gender.

B.     Pembahasan

1.      Antara Wacana

Mengapa perempuan terus diperbincangkan? Itulah yang telah menjadi masalah dalam sistem sosial kita. Pada awalnya perbincangan tersebut berputar sejarah keberadaan perempuan yang seringkali dikaitkan dengan mitos-mitos dan dimuati lebih banyak makna bila dibandingkan dengan lakilaki. Dua cairan yang keluar dari tubuh perempuan berupa “darah” dan “air susu” sangat berpengaruh terhadap kebudayaan manusia. Dari keduanya mengalir mitos-mitos yang bermuara pada konstruksi ideologi gender dalam masyarakat. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex (simone de beuvoir) yang sering disebut juga sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan. Dikotomi nature dan culture misalnya telah digunakan untuk menunjukkan pemisahan dan stratifikasi diantara dua jenis kelamin ini.

Dalam konteks pembangunan, isu-isu perempuan telah banyak diperbincangkan seperti diskriminasi upah buruh, penganiayaan para TKW, pemerkosaan dan berbagai tindak kriminal terhadap perempuan banyak terjadi di sekeliling kita. Dalam situasi semacam itu berkembang berbagai gagasan tentang kemajuan perempuan. Ada beberapa front perjuangan peningkatan status dan martabat perempuan. Yang terbagi dalam tiga kubu organisasi, yaitu: Organisasi pemerintah (Dharma Wanita, organisasi ibu-ibu PKK, Dharma Pertiwi dll), organisasi non pemerintah yang terdiri dari Kowani (divisi perempuan dari organisasi masyarakat dan agama) dan LSM perempuan yang tersebar diseluruh Indonesia. Masing-masing organisasi diatas memiliki tanggapan yang berbeda terhadap isu-isu perempuan dan pembangunan. Ini dilatar belakangi oleh perbedaan orientasi dalam memandang usaha-uasha perbaikan harkat dan martabat perempuan dan sarana apa yang yang digunakan untuk mencapai tujuan itu.

2.      Perempuan dan Akar Kultural Ketimpangan Gender

Bagaiamana ketidakadilan hubungan antara laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan sebagai produk budaya? Nampaknya kita harus melihat pada akar-akar tardisi yang mendasari pembentukan hubungan-hubungan tersebut. Dalam masyarakat terdapat ideologi gender yang membedakan pria dan wanita bukan hanya berdasar jenis kelamin tapi juga berdasar peran masing-masing jenis kelamin. Hampir dalam segala hal, wanita ditempatkan sebagai subordinat dan laki-laki adalah superior.

Kalau ditelusuri lebih jauh ideologi gender juga berpangkal pada larangan-larangan disekitar menstruasi (menstrual taboo). Konsep tentang menstrual taboo juga membagi kehidupan manusia dalam dua sektor dengan sudut pandang dan moralitas yang berbeda. demikin pula dikotomi nature dan culture. Yang satu memilki status lebih rendah dari yang lain. Perempuan yang memilki sifat nature (alam) harus ditundukkan agar mereka lebih berbudaya (culture). Usaha membudayakan perempuan tersebut telah menyebabkan terjadinya proses produksi dan reproduksi ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Implikasi dari pemposisian tidak seimbang telah menjadi kekuatan di dalam pemisahan sektor kehidupan, kedalam sektor “publik” dan “domestik” di mana perempuan dianggap orang yang berkiprah dalam sektor domestik dan laki-laki di tempatkan sebagai kelompok yang berhak mengisi sektor publik. Ideologi semacam ini telah disahkan oleh berbagai pranata dan lembaga sosial yang kemudian menjadi fakta sosial tentang status dan peran- peran yang dimainkan oleh perempuan. Sehingga terjadi perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan.

Perbedaan perlakuan anatara laki-laki dan perempuan tidak hanya terjadi pada sektor pasar kerja namun secara sosio-kultural telah berlaku sejak kecil. Anak perempuan biasanya diarahkan untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, membersihklan lantai, mencuci, menyetrika baju, dan mengasuh adik. Sedangkan anak laki-laki seringkali dibiarkan bermain sesukanya. Laki-laki juga sangat jarang menerima larangan-larangan bagaimana seharusnya mereka bertingkah laku, berbeda dengan perempuan. Wanita dibatasi norma-norma sehingga tidak bisa berbuat sebebas laki-laki. Bahkan ada pendapat yang menagatakan bahwa wanita sebaiknya tidak bepergian sendiri di malam hari. Bila itu dilakukan akan menimbulkan penilaian yang negatif dari masyarakat Perlakuan yang berbeda semacam ini sedikit demi sedikit telah memupuk kesadaran laki-laki bahwa merekalah pihak yang harus dimenangkan dalam setiap kompetisi. Sementara wanita selalu disadarkan bahwa mereka merupakan subordinat dari laki-laki. Demikianlah pada perkembangan selanjutnya pembedaan semacam itu telah menjadi “kesadaran” semua orang untuk mengamininya dalam segala hal.

3.      Problem Gerakan Perempuan di Indonesia

Pada perkembangan terakhir terdapat kesan bahwa gerakan perempuan merupakan gerakan yang anti laki-laki. Hal ini membawa dampak terhadap hubungan laki-laki dan perempuan. Konsekwensi dari hubungan dengan kaum laki-laki sesungguhnya bersumber dari anggapan potensi chauvinisme perempuan yang timbul sebagai dampak dari penyadaran perempuan.

Terdapat asumsi bahwa jika gerakan perempuan ingin mencapai keadilan bagi umat manusia tanpa adanya diskriminasi terhadap laiki-laki, maka berarti tidak ada bedanya dengan gerakan sosial politik lainnya yang tujuan akhirnya adalah nilai-nilai humanisme universal. Oleh karean itu gerakan perempuan tidak perlu berdiri sendiri tetapi dapat bergabung dengan gerakan laki-laki. Suara-suara semacam ini menyebabakan gerakan perempuan kurang mendapat simpati dari masyarakat luas tidak terkecuali perempuan sendiri. Dapat dikatakan sumber persoalannya terletak pada kurangnya pemahaman terhadap konsep feminisme dan gender itu sendiri sehingga penilaian terhadap gerakan perempuan itu menjadi salah kaprah.

Konsep gender sebenarnya memiliki kekhasan yang tidak dimilki oleh pendekatan dan teori sosial lainnya yaitu bagaimana kenyataan ini dilihat dari kacamata kaum perempuan. Hingga sampai saat ini proses penyadaran gender masih dipelopori oleh gerakan perempuan, padahal sesungguhnya perlu juga melibatkan laki-laki. Oleh karean itu seorang feminis tidak selalu berarti perempuan tetapi bisa juga laki-laki.

Dalam konteks Indonesia bentuk gerakan perempuan yang cocok untuk Indonesia masih merupakan polemik besar. Karena sesungguhnya ada tidaknya perempuan ideal Indonesia masih dipertanyakan. Selama ini kita tidak menyadari bahwa yang ideal itu masih diperangkap oleh pengkotak- kotakan stereotif gender. Usaha mencari konsep gerakan perempuan Indonesia semestinya bermula dari persoalan yang dihadapi mayoritas kaum perempuan kita. Pencarian bentuk gerakan perempuan harus dijalani bersama-sama dengan usaha meningkatkan harkat dan martabat perempuan itu sendiri.

Perbedaan tersebut nampak jelas pada orientasi kelompok-kelompok gerakan perempuan. Pada kubu Dharma Wanita dan kelompok PKK serta ORNOP perempuan yang dibahas tidak sama dengan gerakan LSM. Kubu yang satu menekankan apa yang ideal bagi seorang ibu, sementara kubu yang lain berangkat dari apa yang menjadi poermasalahan perempuan Indonesia saat ini. Di samping itu permasalahannya bukan terletak pada ada atau tidaknya concern terhadap isu-isu peningkatan harkat martabat perempuan namun masalahnya terletak pada definisi peningkatan harkat dan martabat kaum perempuan itu sendiri serta cara mewujudkannya. Bagi kubu Dharma Wanita peningkatan martabat perempuan didasarkan pada sejauh mana produtifitas mereka sebagai ibu rumah tangga, sementara bagai gerakan perempuan (LSM) pada bargainig position perempuan.

Hal yang perlu direnungkan juga adalah kemandirian tuntutan LSM perempuan diantara gerakan-gerakan politik lainnya. Selama ini ada kegelisahan dikalangan gerakan LSM perempuan karena adanya penilaian terhadap gerakan mereka yang dianggap eksklusif. Bersamaan dengan pembatasan gerak LSM maka gerakan perempuan terdorong turut dalam gerakan oposisi yang mengkritisi pemerintah dan melakukan kontrol sosial terhadap pembangunan. Gerakan perempuan secara tidak sadar berada dalam gerakan politik dan tidak ubahnya tuntutan politik mejadi tuntutan sendiri. Sehingga melupakan kegigihan perjuangannya di front perempuan itu sendiri. Pada konteks ini gerakan perempuan telah berhadapan dengan berbagai kepentingan politik sehingga semakin mempersulit posisi gerakannya.

4.      Antara Kepentingan Perempuan dan Politik Gender

Sebagaimana kita ketahui, perumusan kepentingan perempuan secara konseptual akan mempengaruhi praksisnya. Konsep kepentingan tersebut dikenal dengan kepentingan politik gender (political interest of gender). Menurut saya, polemik diantara kedua gerakan peremuan di Indonesia bersumber dari kekaburan antara konsep kepentingan politik gender dengan konsep kepentingan peremnpuan.

Sampai sejauh mana tingkat perwujudan konsep kepentingan politik gender dalam gerakan perempuan memang belum bisa disamaratakan karena masing-masing bergulat dengan isu perempuan di berbagai sektor. Dan dalam performance art gerakannya, kubu feminis masih menunjukkan kelemahan. Kelemahan tersebut sudah di identifikasi oleh Nancy F. Cott yang dikemukakannya dalam mengevaluasi 20 tahun gerakan feminisme di Amerika Serikat. Menurutnya dalam pembentukan social cleavage berdasarkan kelompok seks/gender ini, perjuangan kepentingan perempuan tidak harus dilakukan dengan menggalang solidaritas seks perempuan saja, tetapi harus mencakup semua golongan gender yaitu lakilaki. Ketika feminisme telah menggunakan konsep gender ternyata dalam prakteknya terdapat paradoks anatara subsatansi kepentingan (conten of interes) dan perumusan strategi kepentingannya (form of interes) yaitu ketika merumuskan persamaan dan perbedaannya (sameness and difference) antara perempuan dan laki-laki.

Maka akan menjadi jelas bahwa gerakan perempuan telah terdifirensiasi dalam dua bentuk yaitu gerakan yang memperjuangkan kepentingan perempuan dan politik gender. Keduanya memilki model dan arah yang berbeda sehingga semnakin mempersulit kesatuan gerakan perempuan. Masih terjadinya ketegangan antara laki-laki dan perempuan disatu pihak dan atar sesama perempuan di pihak lain semakin menunjukkan kerapuhan dalam gerakan pembelaan hak-hak perempuan. Hal ini tentunya menjadi problem besar bagi keberlangsungan gerakan dan juga akan berpengaruh terhadap penerimaan semua pihak terhadap gerakan tersebut.

C.    Kesimpulan dan Penutup

Gerakan perempuan pada organisasi pemerintah berbeda arah dan orientasinya dengan organisasi non pemerintah. Kenyataan ini tentunya mengurangi kekuatan presure dan penerimaan pemerintah terhadap perjuangan quota. Kedua, kekakuan pada ideologi gerakan. Hal ini telah menimbulkan kesan bahwa gerakan perempuan sebgai gerakan anti laki-laki atau sebuah gerakan yang menempatkan laki-laki sebvagai “musuh” akibatnya gerakan ini tidak menempatkan laki-laki sebgai partner dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Maka dengan sendirinya semakin memperjelas perbedaan dan kesan yang ditimbulkan baik dikalangan laki-laki maupun perempuan. Ketiga, kekaburan antara gerakan yang memperjuangkan kepentingan perempuan dan politik gender. Sebagaimana dijelkaskan diatas, diasmping negara belum memilki kejelan tentang perluasan difinisi sektor publik juga terjadinya perbedaan yang sangat ketat pada penyusunan kepentingan perempuan dan politik gender. Kepentingan pertenpuan tentunya akan berbicara pada kontek perjuangan hak dan martabat perempuan an sich sementara politik gender terkait dengan kebertadaan laki-laki. Pada saat penyusunan plat form gerakan seharusnya melibatkan laki-laki dan mengajak laki-laki dalam memperjuangkan kepentingan politiknya. Keempat, belum terdapat kesamaan persepsi anatar gerakan perempuan dan seluruh kaum perempuan di Indonesia. Hal ini tentunya akan berpengaruh besar terhadp kekuatan bargaiuning gerakan tersebut. Bila semua perempuan Indonesia memilki “kesadaran” yang sama maka akan memperkuat bargainig position perempuan di tanah air. Kenyataan masih banyak perempuan Indonesia yang mengangap minor gerakan perempuan tak dapat diabaikan kartena ini akan berpenagaruh terhadap persepsi pemerintah terhadap masalaha quota. Kelima, pemerintah dan negara Indonesia masih bercorak patriarkhi. Kenyataan ini akan sangat berpengaruh terhadap dityerimanya usulan quota. Demikian pula partai politik sebagai wadah aspirasi politik, masih belum memiliki kesadaran yang sama dengan pejuang perempuan.

Posting Komentar

0 Komentar