“Gerakan
Perempuan: Antara Perempuan dan Politik Gender”
Oleh
: Sahrul Ramadhani
A. Pendahuluan
Dalam
konteks pembangunan, isu-isu perempuan telah banyak diperbincangkan seperti
diskriminasi upah buruh, penganiayaan para TKW, pemerkosaan dan berbagai tindak
kriminal terhadap perempuan banyak terjadi di sekeliling kita. Dalam situasi
semacam itu berkembang berbagai gagasan tentang kemajuan perempuan. Diklasifikasi
dalam empat sub bahasan yaitu: pertama, perempuan dan akar kultural ketimpangan
gender, bahasan ini dimaksud untuk memasuki wilayah bahasan inti agar ditemukan
kejelasan sejarah terjadinya ketimpangan gender. Kedua, konstelasi gerakan
perempuan di Indonesia, dimaksud untuk melakukan pemblegetan terhadap gerakan
perempuan di Indonesia sehingga dapat ditemukan titik masalah. Ketiga, Antara
kepentingan perempuan dan politik gender.
B.
Pembahasan
Mengapa
perempuan terus diperbincangkan? Itulah yang telah menjadi masalah dalam sistem
sosial kita. Pada awalnya perbincangan tersebut berputar sejarah keberadaan
perempuan yang seringkali dikaitkan dengan mitos-mitos dan dimuati lebih banyak
makna bila dibandingkan dengan lakilaki. Dua cairan yang keluar dari tubuh
perempuan berupa “darah” dan “air susu” sangat berpengaruh terhadap kebudayaan manusia.
Dari keduanya mengalir mitos-mitos yang bermuara pada konstruksi ideologi
gender dalam masyarakat. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian
menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex (simone de beuvoir) yang
sering disebut juga sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu
diperhitungkan. Dikotomi nature dan culture misalnya telah digunakan untuk
menunjukkan pemisahan dan stratifikasi diantara dua jenis kelamin ini.
Dalam
konteks pembangunan, isu-isu perempuan telah banyak diperbincangkan seperti
diskriminasi upah buruh, penganiayaan para TKW, pemerkosaan dan berbagai tindak
kriminal terhadap perempuan banyak terjadi di sekeliling kita. Dalam situasi
semacam itu berkembang berbagai gagasan tentang kemajuan perempuan. Ada beberapa
front perjuangan peningkatan status dan martabat perempuan. Yang terbagi dalam
tiga kubu organisasi, yaitu: Organisasi pemerintah (Dharma Wanita, organisasi
ibu-ibu PKK, Dharma Pertiwi dll), organisasi non pemerintah yang terdiri dari
Kowani (divisi perempuan dari organisasi masyarakat dan agama) dan LSM
perempuan yang tersebar diseluruh Indonesia. Masing-masing organisasi diatas
memiliki tanggapan yang berbeda terhadap isu-isu perempuan dan pembangunan. Ini
dilatar belakangi oleh perbedaan orientasi dalam memandang usaha-uasha
perbaikan harkat dan martabat perempuan dan sarana apa yang yang digunakan
untuk mencapai tujuan itu.
Bagaiamana
ketidakadilan hubungan antara laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan sebagai
produk budaya? Nampaknya kita harus melihat pada akar-akar tardisi yang
mendasari pembentukan hubungan-hubungan tersebut. Dalam masyarakat terdapat
ideologi gender yang membedakan pria dan wanita bukan hanya berdasar jenis
kelamin tapi juga berdasar peran masing-masing jenis kelamin. Hampir dalam
segala hal, wanita ditempatkan sebagai subordinat dan laki-laki adalah
superior.
Kalau
ditelusuri lebih jauh ideologi gender juga berpangkal pada larangan-larangan
disekitar menstruasi (menstrual taboo). Konsep tentang menstrual taboo juga
membagi kehidupan manusia dalam dua sektor dengan sudut pandang dan moralitas yang
berbeda. demikin pula dikotomi nature dan culture. Yang satu memilki status
lebih rendah dari yang lain. Perempuan yang memilki sifat nature (alam) harus
ditundukkan agar mereka lebih berbudaya (culture). Usaha membudayakan perempuan
tersebut telah menyebabkan terjadinya proses produksi dan reproduksi
ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Implikasi
dari pemposisian tidak seimbang telah menjadi kekuatan di dalam pemisahan
sektor kehidupan, kedalam sektor “publik” dan “domestik” di mana perempuan
dianggap orang yang berkiprah dalam sektor domestik dan laki-laki di tempatkan
sebagai kelompok yang berhak mengisi sektor publik. Ideologi semacam ini telah
disahkan oleh berbagai pranata dan lembaga sosial yang kemudian menjadi fakta
sosial tentang status dan peran- peran yang dimainkan oleh perempuan. Sehingga
terjadi perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan
perlakuan anatara laki-laki dan perempuan tidak hanya terjadi pada sektor pasar
kerja namun secara sosio-kultural telah berlaku sejak kecil. Anak perempuan
biasanya diarahkan untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti
memasak, membersihklan lantai, mencuci, menyetrika baju, dan mengasuh adik.
Sedangkan anak laki-laki seringkali dibiarkan bermain sesukanya. Laki-laki juga
sangat jarang menerima larangan-larangan bagaimana seharusnya mereka bertingkah
laku, berbeda dengan perempuan. Wanita dibatasi norma-norma sehingga tidak bisa
berbuat sebebas laki-laki. Bahkan ada pendapat yang menagatakan bahwa wanita
sebaiknya tidak bepergian sendiri di malam hari. Bila itu dilakukan akan
menimbulkan penilaian yang negatif dari masyarakat Perlakuan yang berbeda
semacam ini sedikit demi sedikit telah memupuk kesadaran laki-laki bahwa
merekalah pihak yang harus dimenangkan dalam setiap kompetisi. Sementara wanita
selalu disadarkan bahwa mereka merupakan subordinat dari laki-laki. Demikianlah
pada perkembangan selanjutnya pembedaan semacam itu telah menjadi “kesadaran”
semua orang untuk mengamininya dalam segala hal.
Pada
perkembangan terakhir terdapat kesan bahwa gerakan perempuan merupakan gerakan
yang anti laki-laki. Hal ini membawa dampak terhadap hubungan laki-laki dan
perempuan. Konsekwensi dari hubungan dengan kaum laki-laki sesungguhnya
bersumber dari anggapan potensi chauvinisme perempuan yang timbul sebagai
dampak dari penyadaran perempuan.
Terdapat
asumsi bahwa jika gerakan perempuan ingin mencapai keadilan bagi umat manusia
tanpa adanya diskriminasi terhadap laiki-laki, maka berarti tidak ada bedanya
dengan gerakan sosial politik lainnya yang tujuan akhirnya adalah nilai-nilai
humanisme universal. Oleh karean itu gerakan perempuan tidak perlu berdiri
sendiri tetapi dapat bergabung dengan gerakan laki-laki. Suara-suara semacam
ini menyebabakan gerakan perempuan kurang mendapat simpati dari masyarakat luas
tidak terkecuali perempuan sendiri. Dapat dikatakan sumber persoalannya
terletak pada kurangnya pemahaman terhadap konsep feminisme dan gender itu
sendiri sehingga penilaian terhadap gerakan perempuan itu menjadi salah kaprah.
Konsep
gender sebenarnya memiliki kekhasan yang tidak dimilki oleh pendekatan dan
teori sosial lainnya yaitu bagaimana kenyataan ini dilihat dari kacamata kaum
perempuan. Hingga sampai saat ini proses penyadaran gender masih dipelopori
oleh gerakan perempuan, padahal sesungguhnya perlu juga melibatkan laki-laki.
Oleh karean itu seorang feminis tidak selalu berarti perempuan tetapi bisa juga
laki-laki.
Dalam
konteks Indonesia bentuk gerakan perempuan yang cocok untuk Indonesia masih
merupakan polemik besar. Karena sesungguhnya ada tidaknya perempuan ideal
Indonesia masih dipertanyakan. Selama ini kita tidak menyadari bahwa yang ideal
itu masih diperangkap oleh pengkotak- kotakan stereotif gender. Usaha mencari
konsep gerakan perempuan Indonesia semestinya bermula dari persoalan yang
dihadapi mayoritas kaum perempuan kita. Pencarian bentuk gerakan perempuan
harus dijalani bersama-sama dengan usaha meningkatkan harkat dan martabat
perempuan itu sendiri.
Perbedaan
tersebut nampak jelas pada orientasi kelompok-kelompok gerakan perempuan. Pada
kubu Dharma Wanita dan kelompok PKK serta ORNOP perempuan yang dibahas tidak
sama dengan gerakan LSM. Kubu yang satu menekankan apa yang ideal bagi seorang
ibu, sementara kubu yang lain berangkat dari apa yang menjadi poermasalahan
perempuan Indonesia saat ini. Di samping itu permasalahannya bukan terletak pada
ada atau tidaknya concern terhadap isu-isu peningkatan harkat martabat
perempuan namun masalahnya terletak pada definisi peningkatan harkat dan
martabat kaum perempuan itu sendiri serta cara mewujudkannya. Bagi kubu Dharma
Wanita peningkatan martabat perempuan didasarkan pada sejauh mana produtifitas
mereka sebagai ibu rumah tangga, sementara bagai gerakan perempuan (LSM) pada
bargainig position perempuan.
Hal
yang perlu direnungkan juga adalah kemandirian tuntutan LSM perempuan diantara
gerakan-gerakan politik lainnya. Selama ini ada kegelisahan dikalangan gerakan
LSM perempuan karena adanya penilaian terhadap gerakan mereka yang dianggap
eksklusif. Bersamaan dengan pembatasan gerak LSM maka gerakan perempuan
terdorong turut dalam gerakan oposisi yang mengkritisi pemerintah dan melakukan
kontrol sosial terhadap pembangunan. Gerakan perempuan secara tidak sadar
berada dalam gerakan politik dan tidak ubahnya tuntutan politik mejadi tuntutan
sendiri. Sehingga melupakan kegigihan perjuangannya di front perempuan itu
sendiri. Pada konteks ini gerakan perempuan telah berhadapan dengan berbagai
kepentingan politik sehingga semakin mempersulit posisi gerakannya.
Sebagaimana
kita ketahui, perumusan kepentingan perempuan secara konseptual akan
mempengaruhi praksisnya. Konsep kepentingan tersebut dikenal dengan kepentingan
politik gender (political interest of gender). Menurut saya, polemik diantara
kedua gerakan peremuan di Indonesia bersumber dari kekaburan antara konsep
kepentingan politik gender dengan konsep kepentingan peremnpuan.
Sampai
sejauh mana tingkat perwujudan konsep kepentingan politik gender dalam gerakan
perempuan memang belum bisa disamaratakan karena masing-masing bergulat dengan
isu perempuan di berbagai sektor. Dan dalam performance art gerakannya, kubu
feminis masih menunjukkan kelemahan. Kelemahan tersebut sudah di identifikasi
oleh Nancy F. Cott yang dikemukakannya dalam mengevaluasi 20 tahun gerakan
feminisme di Amerika Serikat. Menurutnya dalam pembentukan social cleavage
berdasarkan kelompok seks/gender ini, perjuangan kepentingan perempuan tidak
harus dilakukan dengan menggalang solidaritas seks perempuan saja, tetapi harus
mencakup semua golongan gender yaitu lakilaki. Ketika feminisme telah menggunakan
konsep gender ternyata dalam prakteknya terdapat paradoks anatara subsatansi
kepentingan (conten of interes) dan perumusan strategi kepentingannya (form of
interes) yaitu ketika merumuskan persamaan dan perbedaannya (sameness and
difference) antara perempuan dan laki-laki.
Maka
akan menjadi jelas bahwa gerakan perempuan telah terdifirensiasi dalam dua
bentuk yaitu gerakan yang memperjuangkan kepentingan perempuan dan politik
gender. Keduanya memilki model dan arah yang berbeda sehingga semnakin mempersulit
kesatuan gerakan perempuan. Masih terjadinya ketegangan antara laki-laki dan
perempuan disatu pihak dan atar sesama perempuan di pihak lain semakin
menunjukkan kerapuhan dalam gerakan pembelaan hak-hak perempuan. Hal ini
tentunya menjadi problem besar bagi keberlangsungan gerakan dan juga akan
berpengaruh terhadap penerimaan semua pihak terhadap gerakan tersebut.
C.
Kesimpulan
dan Penutup
Gerakan
perempuan pada organisasi pemerintah berbeda arah dan orientasinya dengan
organisasi non pemerintah. Kenyataan ini tentunya mengurangi kekuatan presure
dan penerimaan pemerintah terhadap perjuangan quota. Kedua, kekakuan pada
ideologi gerakan. Hal ini telah menimbulkan kesan bahwa gerakan perempuan
sebgai gerakan anti laki-laki atau sebuah gerakan yang menempatkan laki-laki
sebvagai “musuh” akibatnya gerakan ini tidak menempatkan laki-laki sebgai
partner dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Maka dengan sendirinya semakin
memperjelas perbedaan dan kesan yang ditimbulkan baik dikalangan laki-laki
maupun perempuan. Ketiga, kekaburan antara gerakan yang memperjuangkan
kepentingan perempuan dan politik gender. Sebagaimana dijelkaskan diatas,
diasmping negara belum memilki kejelan tentang perluasan difinisi sektor publik
juga terjadinya perbedaan yang sangat ketat pada penyusunan kepentingan
perempuan dan politik gender. Kepentingan pertenpuan tentunya akan berbicara
pada kontek perjuangan hak dan martabat perempuan an sich sementara politik
gender terkait dengan kebertadaan laki-laki. Pada saat penyusunan plat form
gerakan seharusnya melibatkan laki-laki dan mengajak laki-laki dalam
memperjuangkan kepentingan politiknya. Keempat, belum terdapat kesamaan
persepsi anatar gerakan perempuan dan seluruh kaum perempuan di Indonesia. Hal
ini tentunya akan berpengaruh besar terhadp kekuatan bargaiuning gerakan
tersebut. Bila semua perempuan Indonesia memilki “kesadaran” yang sama maka
akan memperkuat bargainig position perempuan di tanah air. Kenyataan masih
banyak perempuan Indonesia yang mengangap minor gerakan perempuan tak dapat
diabaikan kartena ini akan berpenagaruh terhadap persepsi pemerintah terhadap
masalaha quota. Kelima, pemerintah dan negara Indonesia masih bercorak
patriarkhi. Kenyataan ini akan sangat berpengaruh terhadap dityerimanya usulan
quota. Demikian pula partai politik sebagai wadah aspirasi politik, masih belum
memiliki kesadaran yang sama dengan pejuang perempuan.
0 Komentar