Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

Meneropong Nasib Masyarakat Pantura Saat Ini, PMII Rayon Saintek Adakan Nobar dan Diskusi Film ‘Surat Cinta Dari Pantura’

 

Meneropong Nasib Masyarakat Pantura Saat Ini, PMII Rayon Saintek Adakan Nobar dan Diskusi Film ‘Surat Cinta Dari Pantura’

Oleh : Feby Alfiana



Gambar : Diskusi Film ‘Surat Cinta dari Pantura’ oleh PMII Rayon Sains dan Teknologi Komisariat UIN Walisongo Semarang

Masyarakat Jawa terkhusu masyarakat Pesisir Pantai Utara (Pantura) selalu mengalami konflik kehidupan yang dilematik. Mereka selalu dibenturkan dengan permasalahan-permasalahan krusial yang tentunya akan menghantui kehidupan anak dan cucu mereka kedepan. Permasalahan-permasalahan tersebut salah satunya  disebabkan oleh masifnya kawasan industri yang terus berkembang di sekitar lahan mata pencaharian mereka.

Menyikapi keresahan yang dialami oleh masayarakat Pantura, PMII Rayon Sains dan Teknologi Komisariat UIN Walisongo Semarang mengadakan nonton bareng (nobar) dan diskusi Film ‘Surat Cinta dari Pantura’ yang diselenggarakan pada Sabtu (28/11/2021).

Acara yang berlangsung di Angkringan Sipro, Ngaliyan, Kota Semarang ini dimulai dengan pantikan diskusi yang disamapiakan oleh Feby Alfiana, moderator pada acara tersebut. Acara kemudian berlanjut pada penayangan Film ‘Surat Cinta dari Pantura’ yang berlangsung selama satu jam.

Film dokumenter hasil kolaborasi antara Watch Doc, Greenpeace, dan Trend Asia ini menggambarkan tentang kehidupan tragis yang dialami masyarakat pantura akhir-akhir ini. Ketragisan tersebut bermula ketika proyek-proyek kawasan industri potensial terus digarap oleh pemerintah. Hal tersebut kemudian mengakibatkan hasil pertanian dan pertambakkan yang dimiliki masyarakat Pesisir Pantura mengalami penurunan di setiap waktunya. Alih-alih mengatasnamakan kesejahteraan rakyat dan pembukaan lapangan pekerjaan, adanya pembangunan kawasan industri tersebut justru berdampak negatif tehadap masyarat Pesisir Pantura yang notabenenya berprofesi sebagai petani dan nelayan.

Acara yang diikuti oleh 22 peserta ini kemudian berlanjut pada sesi diskusi yang dikomandoi oleh Adetya Pramandira, Anggota Walhi Jawa Tengah. Perempuan yang concern pada isu-isu lingkungan ini membuka diskusi dengan memaparkan tekait fenomena sosial Bangsa Indonesia saat ini. Dimana mazhab pembangunan infrastruktur Indonesia saat ini tidak berorientasi pada RDTR (Rencana Detail Tata Ruang), melainkan pada mazhab wes kedarung atau sesuatu yang sudah terjadi akan sia-sia apabila tidak diteruskan.

“Mazhab pembangunan kita saat ini adalah  wes kedarung, yang sudah terjadi, eman-eman kalua tidak diteruskan”, kata Dera, sapaan akrabnya.

Terkait Film ‘Surat Cinta dari Pantura’, ia mengatakan bahwa setidaknya terdapat beberapa isu yang tertuang dalam film tersebut, diantaranya adalah isu tata ruang, isu lingkungan atau ekologi, dan isu buruh. Ia juga menyampaikan bahwa pembangunan yang dilakukan selama ini bukan mengatasnamakan keinginan rakyat, melainkan lahir atas kesepakatan politik.

Khavid Joni Nurvauzi, selaku peserta diskusi pada acara tersebut mengatakan bahwa banyak hal yang telah didapatkan setelah menonton dan diskusi film tersebut. Ia juga berharap supaya pemerintah lebih selektif lagi dalam menentukan wilayah industri.

 “Untuk kedepannya, saya harap pemerintah atau para penguasa dapat memikirkan lebih lanjut terkait penentuan wilayah pembangunan industri”, ujar Joni.

Selain sebagai teropong dalam melihat nasib masyarakat Pesisir Pantura hari ini, nobar dan diskusi ini juga bertujuan untuk memantik nalar kritis mahasiswa terhadap realita sosial yang ada di sekeliling mereka. Di samping itu, mahasiswa sebagai pemegang estafet kepemimpinan negara juga harus terlibat aktif dalam mengawal isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan rakyat melalui baca, diskusi, dan aksi.  

Posting Komentar

0 Komentar