Sejarah
kontemporer Indonesia setelah pengakuan dan penyerahan kedaulatan atau dengan
kata lain mencapai kemerdekaannya tidak bisa hanya disarikan dalam satu
ungkapan saja, yaitu merdeka. Bahkan, uraian sejarah yang ada diliteratur
pendidikan maupun uraian sejarah yang detil sekalipun tak akan mampu menggambarkan
kompleksitas realitas sejarah empiris yang sesungguhnya terjadi. Jadi, jika ada
yang membicarakan seluruh dinamika sejarah hanya dalam satu atau dua kata, maka
sesungguhnya pembicaraan itu hanyalah sia-sia belaka. Karena bagaimana pun,
yang katanya, “sejarah adalah hasil rekontruksi realitas di masa lalu” hanyalah
sebuah bayangan tentang sesuatu di masa lalu dan tidak akan mungkin dapat
diaktualisasi kembali di masa kini. Dengan kata lain, ungkapan di atas dapat
diartikan bahwasanya sejarah hanyalah gambaran selintas fenomena tentang
realitas yang kompleks di masa lalu.
Akan tetapi, apabila ungkapan di
atas dikerucutkan pada polemis otonomi daerah dan regionalisme maka ingatan
akan peristiwa-peristiwa yang menantang keutuhan Indonesia bahkan eksistensi negara
akan terlintas begitu saja. Meskipun menyadari bahwa sejarah merupakan hasil
rekontruksi kritis atas realitas masa lalu dan tidak mungkin dapat diredusir
dengan ungkapan-ungkapan yang mengandung slogan,
tetapi tetap saja hari-hari di Indonesia dengan terpaksa melalukan peristiwa
(redusir sejarah dengan ungkapan mengandung slogan-red)
itu.
Beberapa saat yang lalu, ungkapan
yang mengandung bobot masalah regionalisme sempat memancing hasrat masyarakat
daerah untuk mendapatkan tempat yang dianggap “layak” dalam konstelasi
kenegaraan, otonomi, sebagai hak relatif yang dimiliki untuk mengurus masalah
internal kedaerahan, dan desentralisasi atau problematik pembagian kekuasaan
antara pemerintah pusat dan daerah yang terwujud dalam corak hubungan keduanya
sehingga bisa dijadikan pula sebagai dasar hipotesis kesejahteraan yang paling
awal. Indonesia dengan berbagai ragam kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang
dilengkapi dengan melimpahnya Sumber Daya Alam (SDA) nya harus mampu
menempatkan masing-masing sumber daya itu dalam konstelasi negara-bangsa dan
hubungan antardaerah sebagaimana yang terwujud dalam administratif
pemerintahan, pemakaian simbol integratif, dan aspek kultur lainnya serta
kesempatan ekonomi masing-masing daerah. Maka jika dikatakan tugas negara untuk
menjadikan seluruhnya dalam satu bingkai politik dan administrasi pemerintah
itu masih kurang relevan. Pasalnya, pemerintah sebagai pengemban kehidupan
kenegaraan juga harus berbuat sesuai dengan rasionalitas yang berdasarkan
kesatuan bangsa.
Dengan memandang keruntuhan Orde
Baru, dimana Presiden Soeharto turun ketika rakyat sudah terluka parah dan
negara sudah terancam oleh berbagai corak kekuatan disintegratif. Maka Wakil
Presiden, B.J Habibie menggantikan posisi Presiden Soeharto yang tak lain
adalah sosok yang dikagumi beliau. Meskipun didukung oleh legitimasi
konstitusional, “Anak Mas” Orde Baru ini tidak mendapatkan legitimasi moral dan
politik. Dimana ketika beliau memimpin di masa transisi itu, B.J Habibie berani
mengeluarkan UU Otonomi Daerah 22/1999 dan
pengaturan keuangannya UU 25/1999. Segala tinjauan mengatakan bahwa kedua
undang-undang itu sebenarnya “too late” dan
“too much and too soon”. Dikatakan
demikian karena, seharusnya sudah sejak lama desentralisasi itu dijalankan dan
adanya kedua undang-undang itu sesungguhnya memberikan tekanan kepada kabupaten
karena undang-undang tersebut diberikan sekaligus ketika tradisi sentralitis
yang otoriter masih kuat mencengkam kehidupan politik. Namun, mau tidak mau
harus diakui adanya kedua undang-undang ini memiliki tujuan untuk mendekatkan
hubungan antara rakyat dan negara tanpa menggerogoti hak-hak warga negara yang
paling esensial, yakni kesempatan untuk terlibat langsung dalam pemerintahan
dan tidak hanya sekadar seremonial dan prosedural dalam kehidupan bernegara.
Jadi, jika lahirnya kedua undang-undang ini dengan tujuan mengakhiri
sentralisasi kekuasaan sekaligus menjaga integrasi negara, maka dari sudut
wacana ideologis kedua undang-undang ini mengatakan hal lain. Pertama, negara
telah bersedia mengakhiri kekuasaannya dalam pemegang monopoli wacana dan
hegemoni makna (otoritarinisme telah berakhir-red) serta yang kedua adalah
daerah diberi kesempatan untuk menjalankan ingenuity
dan kreativitas untuk mengatasi masalahnya sekaligus untuk merintis usahanya
dalam merancang masa depan dalam konteks negara kesatuan.
Sebenarnya
masih banyak jalan yang harus dilalui oleh Indonesia. Bahkan Gerakan Reformasi
yang mengakhiri Orde Baru belum dapat merealisasi janji yang dilahirkannya.
Tetapi, tanpa disadari jatuhnya Presiden Soeharto dan Orde Barunya dan
dimulainya reformasi seakan-akan membawa Indonesia kembali pada tahun 1950,
masa dekade pertamanya. Ketika tuntutan desentralisasi sedang menggebu-gebu,
maka tiba-tiba pula masyarakat-bangsa disadarkan akan masalah desentralisasi
dan otonomi bukanlah sekedar hubungan antara provinsi dengan pemerintah pusat,
tetapi juga provinsi dengan kabupaten-kabupaten dan kabupaten dengan
kecamatan-kecamatan. Adanya reformasi juga mengingatkan masyarakat-bangsa akan
kompleksitas dari sebuah negara-bangsa yang bukan saja bersifat multietnis
tetapi juga terdiri atas wilayah-wilayah yang memiliki sumber daya alam yang
berbeda-beda. Regionalisme yang selama ini diberlakukan sebagai sesuatu yang
“haram” kini dengan berbagai kedok politik dan argumen sosial-ekonomis bahkan
antropologis mulai tampil ke permukaan.
Sejarah
mungkin tidak bisa memberikan petunjuk praktis tentang apa yang harus dilakukan
agar negara mampu meraih cita-citanya dengan mudah, tetapi jika sejarah dipelajari
dengan niat untuk mencari kebenaran maka rekontruksi masa lalu bisa menunjukkan
berbagai corak jawaban yang diberikan masyarakat untuk menjawab tantangan
sejarah.
*Penulis adalah Koordinator Divisi Kajian, Biro Pers dan Wacana
Rayon Sains dan Teknologi Masa Juang 2016-2017
0 Komentar