Hidup di pesantren atau ma’had sering identik dengan jadwal padat: ngaji, murojaah, shalat berjamaah, lalu kuliah atau belajar di kelas. Tapi di balik rutinitas itu, banyak santri sebenarnya punya potensi luar biasa untuk berkembang di bidang lain mulai dari menulis, desain, olahraga, dan masih banyak lagi. Tantangannya adalah bagaimana cara santri tetap fokus beribadah dan belajar agama, tapi juga produktif di luar itu.
Di Ma’had Al-Jami’ah UIN Walisongo misalnya, beberapa mahasantri mencoba menyeimbangkan dua dunia antara pagi sampai siang kuliah, sore ngaji, di sela-sela itu mengembangkan diri melalui kegiatan ukm dan kompetisi. Mereka membuktikan bahwa jadi santri produktif itu bukan berarti meninggalkan nilai-nilai keagamaan, tapi justru memperluas makna ibadah lewat karya yang bermanfaat.
Menjadi santri di era modern bukan cuma soal mengaji dan
memperdalam ilmu agama. Di tengah arus zaman yang terus melaju, banyak santri
kini mulai membuka diri untuk ikut produktif di bidang yang ingin mereka tekuni
tanpa mengurangi esensi ibadah dan belajar. Di Ma’had Al-Jami’ah UIN Walisongo,
misalnya, para mahasantri dari berbagai jurusan punya cara unik dalam
menyeimbangkan dua dunia antara dunia pesantren dan dunia akademik.
Salah satu contohnya datang dari santri jurusan Teknologi
Informasi. Di sela kegiatan mengaji kitab kuning, halaqah, dan kuliah,
mereka tetap menyempatkan waktu mengasah kemampuan di bidang digital mulai dari
ngoding website, bikin desain, sampai ikut lomba inovasi teknologi. Aktivitas
ini bukan berarti mengganggu fokus ibadah, tapi justru menjadi bentuk ibadah
baru lewat karya dan kontribusi nyata.
Menariknya, pola hidup di pesantren yang disiplin justru
melatih manajemen waktu yang kuat. Dari subuh sampai malam sudah terjadwal:
ngaji, kuliah, diskusi, dan kadang lembur ngoding di sela-sela waktu istirahat.
Kombinasi antara riyadhah spiritual dan latihan intelektual ini
membentuk karakter tangguh dan adaptif. Santri jadi tidak hanya paham agama,
tapi juga peka terhadap perkembangan zaman.
Namun, produktivitas ini tentu punya tantangan tersendiri.
Keterbatasan waktu, fasilitas, dan kadang kurangnya dukungan lingkungan bisa
membuat sebagian santri menyerah di tengah jalan. Di sinilah pentingnya
dukungan dari pihak pesantren dan kampus menciptakan ekosistem yang mendukung
kolaborasi antara ilmu agama dan ilmu yang dapat mendukung produktivitas
mahasantri. Misalnya, dengan membuka seminar yang dapat menumbuhkan skill baru,
lomba yang dapat melatih skill, atau kelas kreatif yang tetap berpijak pada
adab dan nilai-nilai keislaman serta program studi.
Santri masa kini tidak sebatas hanya menjadi penerima ilmu,
tapi juga penghasil karya. Dengan niat yang lurus, setiap baris kode, desain,
atau inovasi bisa menjadi amal jariyah. Karena di balik semangat
produktif itu, mereka membawa satu tekad menjadi generasi yang berilmu,
beriman, dan bermanfaat.
Menjadi santri di era modern berarti siap menghadapi
tantangan zaman tanpa kehilangan arah spiritual. Di Ma’had Al-Jami’ah UIN
Walisongo, semangat itu nyata terlihat: para santri tidak hanya sibuk mengaji,
tapi juga berkreasi dan berkarya. Mereka membuktikan bahwa produktif di luar
pelajaran agama bukan berarti lalai ibadah, melainkan bentuk lain dari
pengabdian.
Santri produktif bukan sekadar bisa multitasking antara
kuliah dan ngaji, tapi mampu menjadikan setiap aktivitasnya bernilai ibadah.
Mengembangkan skill akademik maupun non akademik, menulis artikel, hingga
merancang solusi berdasarkan studi kasus semuanya bisa menjadi jalan dakwah di
dunia digital.
Harapannya, pola hidup santri seperti ini bisa jadi
inspirasi untuk banyak mahasiswa lainnya. Bahwa keseimbangan antara ibadah,
ilmu, dan karya bukan hal yang mustahil. Justru di situlah letak keistimewaan
seorang santri modern: tetap rendah hati, tekun belajar, tapi juga berani
berkontribusi untuk umat dan bangsa.
Create by: Fa’iq Muhammad Saputra
0 Komentar