Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

Deru Sungai, Duka yang Mengalir di Tanah Sumatera

 

Mencekam di Medsos, Banjir Longsor Sumatra Belum Jadi Bencana Nasional

Hujan yang menggantung selama berhari-hari di langit Sumatera akhirnya turun dengan intensitas yang tak lagi bersahabat. Dari lereng-lereng perbukitan di Sumbar hingga bantaran sungai di Sumut dan Aceh, suara deras air menjadi pertanda bahwa kehidupan ribuan warga akan berubah hanya dalam satu malam. Air mengalir cepat, membawa lumpur, kayu, dan serpihan rumah yang roboh. Tidak ada tanda peringatan selain suara gemuruh yang semakin mendekat.

Di beberapa desa di Sumbar, jalur penghubung tertutup material longsor. Rumah-rumah yang berdiri di lembah berubah menjadi bangunan tanpa bentuk. Sementara itu, di Aceh, banjir bandang menyeret kendaraan, ternak, hingga hasil panen warga. Banyak keluarga yang hanya sempat berlari meninggalkan rumah dengan pakaian yang melekat di tubuh, menyisakan kenangan yang menghilang bersama arus coklat pekat.

Kondisi serupa terjadi lebih parah di Sumatera Utara. Dari 24–29 November, data aparat mencatat 488 kejadian bencana yang tersebar di 21 wilayah hukum. Kejadian itu meliputi banjir, longsor, angin kencang, dan pohon tumbang semuanya berlangsung hampir bersamaan. Dampaknya mencatat 1.076 korban, termasuk 147 orang yang kehilangan nyawa, serta 174 orang yang masih dalam pencarian. Lebih dari 28.000 jiwa terpaksa mengungsi, meninggalkan rumah yang hancur atau terendam. Angka itu terus bertambah seiring petugas menemukan korban baru di lokasi yang tertutup material tebal.

Desa-desa yang sebelumnya tenang berubah menjadi ruang penuh duka. Di Tapanuli Tengah, wilayah terparah, reruntuhan rumah terlihat di sepanjang jalan. Banyak keluarga kehilangan anggota yang mereka cintai. Di pos-pos pengungsian, barang-barang seadanya menjadi pengganti kenyamanan: tikar tipis, selimut yang dibagikan relawan, dan makanan hangat yang disediakan di dapur umum. Anak-anak sering terbangun ketakutan saat hujan kembali turun di malam hari, sementara orang tua mereka berusaha menenangkan meski rasa cemas terus mengintai.

Di tenda darurat, suasana penuh harap dan cemas bercampur menjadi satu. Para orang tua memikirkan ladang yang tertimbun lumpur, kios yang roboh, serta sekolah yang rusak akibat derasnya arus. Para petani merasa masa depan mereka turut terseret banjir yang merendam sawah dan kebun. Banyak pekerja harian kehilangan sumber nafkah. Listrik padam di beberapa wilayah, akses kesehatan terhambat karena jembatan putus, dan logistik harus diangkut melalui jalur memutar.

Meski di tengah gelapnya keadaan, semangat saling membantu terasa begitu kuat. Warga bahu-membahu memperbaiki jalan kecil yang rusak agar bantuan bisa masuk. Relawan dari berbagai daerah datang membawa obat-obatan, selimut, dan makanan. Petugas penyelamat terus menyisir sungai dan lereng curam, berharap masih dapat menemukan korban yang selamat. Di tengah lelahnya tubuh, mereka tetap bekerja karena setiap menit berarti bagi keluarga yang menunggu.

Bencana ini bukan hanya tentang kerusakan fisik, tetapi juga tentang luka emosional yang sulit pulih dalam waktu singkat. Ratusan rumah hilang, namun yang paling berat bagi banyak korban adalah kehilangan rasa aman. Meski demikian, dari tenda-tenda pengungsian itu juga muncul kekuatan: keteguhan untuk bangkit dan membangun kembali. Di antara lumpur dan puing, warga saling memegang harapan bahwa kehidupan akan kembali seperti dulu, meski jalannya perlahan dan penuh tantangan.

Sumatera kini menyimpan cerita tentang air yang membawa gelap, tetapi juga tentang manusia yang terus menyalakan cahaya untuk bertahan.

Create by:

Biro Media dan Kepenulisan

 

Posting Komentar

0 Komentar