Hujan yang menggantung selama berhari-hari di
langit Sumatera akhirnya turun dengan intensitas yang tak lagi bersahabat. Dari
lereng-lereng perbukitan di Sumbar hingga bantaran sungai di Sumut dan Aceh,
suara deras air menjadi pertanda bahwa kehidupan ribuan warga akan berubah
hanya dalam satu malam. Air mengalir cepat, membawa lumpur, kayu, dan serpihan
rumah yang roboh. Tidak ada tanda peringatan selain suara gemuruh yang semakin
mendekat.
Di beberapa desa di Sumbar, jalur penghubung
tertutup material longsor. Rumah-rumah yang berdiri di lembah berubah menjadi
bangunan tanpa bentuk. Sementara itu, di Aceh, banjir bandang menyeret
kendaraan, ternak, hingga hasil panen warga. Banyak keluarga yang hanya sempat
berlari meninggalkan rumah dengan pakaian yang melekat di tubuh, menyisakan
kenangan yang menghilang bersama arus coklat pekat.
Kondisi serupa terjadi lebih parah di Sumatera
Utara. Dari 24–29 November, data aparat mencatat 488 kejadian bencana
yang tersebar di 21 wilayah hukum. Kejadian itu meliputi banjir, longsor, angin
kencang, dan pohon tumbang semuanya berlangsung hampir bersamaan. Dampaknya
mencatat 1.076 korban, termasuk 147 orang yang
kehilangan nyawa, serta 174 orang yang masih dalam pencarian.
Lebih dari 28.000 jiwa terpaksa mengungsi, meninggalkan rumah
yang hancur atau terendam. Angka itu terus bertambah seiring petugas menemukan
korban baru di lokasi yang tertutup material tebal.
Desa-desa yang sebelumnya tenang berubah menjadi
ruang penuh duka. Di Tapanuli Tengah, wilayah terparah, reruntuhan rumah
terlihat di sepanjang jalan. Banyak keluarga kehilangan anggota yang mereka
cintai. Di pos-pos pengungsian, barang-barang seadanya menjadi pengganti
kenyamanan: tikar tipis, selimut yang dibagikan relawan, dan makanan hangat
yang disediakan di dapur umum. Anak-anak sering terbangun ketakutan saat hujan
kembali turun di malam hari, sementara orang tua mereka berusaha menenangkan
meski rasa cemas terus mengintai.
Di tenda darurat, suasana penuh harap dan cemas
bercampur menjadi satu. Para orang tua memikirkan ladang yang tertimbun lumpur,
kios yang roboh, serta sekolah yang rusak akibat derasnya arus. Para petani
merasa masa depan mereka turut terseret banjir yang merendam sawah dan kebun.
Banyak pekerja harian kehilangan sumber nafkah. Listrik padam di beberapa
wilayah, akses kesehatan terhambat karena jembatan putus, dan logistik harus
diangkut melalui jalur memutar.
Meski di tengah gelapnya keadaan, semangat saling
membantu terasa begitu kuat. Warga bahu-membahu memperbaiki jalan kecil yang
rusak agar bantuan bisa masuk. Relawan dari berbagai daerah datang membawa
obat-obatan, selimut, dan makanan. Petugas penyelamat terus menyisir sungai dan
lereng curam, berharap masih dapat menemukan korban yang selamat. Di tengah
lelahnya tubuh, mereka tetap bekerja karena setiap menit berarti bagi keluarga
yang menunggu.
Bencana ini bukan hanya tentang kerusakan fisik,
tetapi juga tentang luka emosional yang sulit pulih dalam waktu singkat.
Ratusan rumah hilang, namun yang paling berat bagi banyak korban adalah
kehilangan rasa aman. Meski demikian, dari tenda-tenda pengungsian itu juga
muncul kekuatan: keteguhan untuk bangkit dan membangun kembali. Di antara
lumpur dan puing, warga saling memegang harapan bahwa kehidupan akan kembali
seperti dulu, meski jalannya perlahan dan penuh tantangan.
Sumatera kini menyimpan cerita tentang air yang
membawa gelap, tetapi juga tentang manusia yang terus menyalakan cahaya untuk
bertahan.
Create by:
Biro Media dan Kepenulisan
0 Komentar