Oleh : Farid Rafif Tito
Berbicara tentang sebuah harapan. Jujur,
saya sendiri terkadang berfikir apakah memang perlu sebuah harapan hadir dalam
kehidupan. Bagi saya harapan adalah sebuah paradoks yang di satu sisi membuat
saya termotivasi namun di sisi lainnya sering kali sebuah penderitaan itu
datang dari harapan itu sendiri. benar, bukan? Lalu mengapa Anda masih disini?
Anda semua sudah pernah merasakannya. Ada quotes berbunyi "guru terbaik
dalam hidup adalah sebuah pengalaman". Maka dari itu saya anggap Anda
semua datang membaca ini dengan membawa ilmu dari pengalaman Anda. Cobalah bernostalgia
kembali bagaimana rasa dari pengalaman Anda kala itu. Dan mari kita, ya! Kita.
Saya dan Anda semua bertanya. Sebenarnya dari manakah sebuah harapan itu ada?
Mengapa saya kala itu sangat mengharapkan sesuatu? Lalu hasil apa yang saya
dapatkan dari sebuah pengharapan itu?
Ada fenomena sosial yang menarik untuk di
bahas kalau berbicara tentang sebuah harapan. Ada sebuah negara maju di muka
bumi ini. Yang dimana taraf kehidupan rakyat di sana begitu sejahterah, dari
kebijakan pemerintah, lapangan pekerjaan yang melimpah, dan kebutuhan hidup
yang hampir dapat terpenuhi semua. Tapi, apakah mereka semua bahagia? Apakah
harapan itu bersumber dari kebahagiaan dan kenyamanan? Sayang ironisnya negara
tersebut memiliki kasus bunuh diri yang cukup tinggi dari negara lainnya. Ya,
kita membicarakan tentang negri Sakura yaitu Jepang. Angka bunuh diri di
Jepang memiliki tingkat yang sangat tinggi dan merupakan masalah besar
bagi negara tersebut.[1]
Yang perlu di garis bawahi, mengapa penduduk
mereka begitu banyak melakukan bunuh diri? Walaupun banyak artikel yang
menyebutkan alasan-alasan saintis ataupun sosialis. Namun, Menurut asumsi saya,
yang paling mendasari fenoma tersebut ialah di sebabkan karena Mereka ateis
atau sebuah nilai yang mereka pegang untuk kelangsungan hidup (Mari kita sebut
nilai hidup ini adalah sebuah "iman" untuk memudahkan pemahaman
kedepannya) mereka tersebut begitu rapuh. Hahahaha, mungkin jika begini saya
terlihat di mata Anda semua saya begitu agamis, atau saya adalah seorang
ekstremisme yang menentang adanya pemikiran ateisme. Bisa juga terlihat seperti
orang yang ringan tangan untuk menghakimi sesuatu, yang di mana kalau saya
melihat sesorang yang memakan bubur di aduk (Fyi: saya tim bubur ga diaduk)
akan langsung saya cap sebagai psikopat dan menjauhinya.
Namun, berdasarkan buku yang pernah saya
baca. Sebuah buku yang dimana dia membahas tentang harapan (begitu tertulisnya)
ada sebuah kutipan yang menarik. Yang berbunyi seperti ini:
Kita semua harus memiliki iman akan sesuatu.
Tanpa iman, tidak ada harapan.
Orang yang nonreligius mengecam kata iman,
tapi memiliki iman merupakan sesuatu hal yang tidak bisa ditolak. Fakta dan
sains dilandasi oleh pengalaman di masa lampau. Harapan didasari oleh
pengalaman di masa depan (sebuah keinginan untuk masa depan). Dan Anda harus
selalu berpegangan pada iman bahwa sesuatu akan terjadi lagi di masa depan.
Anda membayar cicilan rumah karena Anda memiliki iman bahwa uang itu nyata, dan
kredit juga nyata, dan bank yang memorot seluruh harta Anda pun nyata
adanya." Anda memerintahkan anak-anak Anda agar mengerjakan PR karena Anda
punya iman bahwa pendidikan mereka adalah sesuatu yang penting, yang bisa
mengarahkan mereka untuk menjadi pemuda yang lebih bahagia, dan lebih sehat.
Anda memiliki iman bahwa kebahagiaan itu memang ada dan mungkin diwujudkan.
Anda memiliki iman bahwa hidup lebih lama adalah sesuatu yang berharga,
sehingga Anda berupaya untuk menjaga keselamatan dan kesehatan diri. Anda
memiliki iman bahwa cinta adalah hal yang penting, pekerjaan juga hal yang
penting, dan semua hal ini
adalah sesuatu yang penting.
Maka, tidak ada ateis. Ya, kurang lebih
begitu. Tergantung pada apa yang Anda maksud dengan "ateis". Poin
saya adalah, bahwa kita semua harus mengimani bahwa sesuatu itu penting. Bahkan
seandainya Anda adalah seorang nihilis, Anda mengimani bahwa tidak ada yang
lebih penting dari apapun. Jadi, pada akhirnya, semuanya adalah iman.[2]
Mari kita fokus kembali perihal asumsi saya
yang ada di paragraf-paragraf awal, apakah sekarang Anda semua sudah paham
mengapa saya berkata seperti itu? Atau begini, mari kita beralih ke-mengapa
dengan mudahnya saya memuntahkan fikiran saya bahwa ateis rapuh. Saya agamis?
Ya benar, saya orang yang percaya agama. Mengapa? Ini iman saya, agama adalah
sesuatu yang penting dalam hidup saya. Bukan hanya sebuah warisan yang diberi
oleh orangtua saya.
Berdasarkan dari kutipan di atas, agama
adalah tempat yang paling kokoh untuk iman saya berlabuh. Alasanya yang dapat
saya berikan yaitu seperti ini. Sebelumnya mari kita coba melihat agama di luar
dari kacamata agama tapi Mari kita liat
agama itu dari kacamata sosial. Bukannya di sini hakikat Manusia adalah makhluk
sosial bisa terlihat? "Hah Hakikat sosial apaandah". Pasti Anda semua
sedang bergumam seperti itu. Begini, bagi anda yang agamis(mempercayai agama)
jika ketika uang kita telah habis, teman yang udah gak tau kemana, atau ingin
bercerita namun tidak ada yang berkenan mendengarkan. Kemana kita akan pergi?
Tentu agama bukan. Dari peristiwa yang terjadi di atas, tanpa sadar nalar kita
bukannya bertujuan menjadikan tuhan atau bahkan agama itu sendiri sebagai suatu
eksistensi imajiner yg kita buat untuk mendampingi hidup kita. Maka hakikat
manusia adalah mahkluk sosial itu terlihat jelas bukan? Bahwa manusia tidak
bisa hidup dengan sendirinya dan sendirian.
Maka akan benar dari isi quotes yg berbunyi
"walau kamu berada di kerumunan orang, kamu akan sendiri jika kamu
berpikir kalau kamu itu merasa sendiri. Bahkan jika tuhan sebenarnya selalu
bersamamu". Tak perlu malu mengakui kekurangan kita, kita hanyalah manusia
yang penuh dengan ketidaksempurnaan, kita masih butuh suatu harapan, suatu
harapan yang tidak akan mengkhianati kita, suatu harapan yang kokoh yang dapat
menghasilkan harapan-harapan lain untuk menjalani hidup.
Ini adalah sebuah kebenaran yang
menggelisahkan, namun adalah suatu hal yang penting. Terlebih bagi kita yang
hidup di era gempuran ideologis dan informatif hari ini, yang dimana tekanan
batin lebih dominan. Suatu hal penting yang kita pilih atau kita buat akan
menuntun kita pada sebuah harapan dan keputusasaannya masing-masing. Namun,
hidup tanpa memiliki suatu hal yang penting adalah sebuah logam besi tanpa cat
dan warna, yang akan rapuh dan berkarat di hadapan sang masa. Sebuah harapan dari manusia, untuk
manusia.
Mohon di perhatikan kembali! Ini hanya opini saya pribadi, saya tidak ingin menggurui atau merasa lebih berilmu. Saya hanya ingin berbagi dan mari kita mencoba untuk belajar, saya juga masih belajar dan akan selalu begitu semoga.
[1] https://blog.qelola.com/2023/02/14/penyebab-angka-bunuh-diri-di-jepang-tinggi/#:~:text=Angka%20bunuh%20diri%20di%20Jepang%20memiliki%20tingkat%20yang%20sangat%20tinggi,masalah%20besar%20bagi%20negara%20tersebut
[2] Mark
Manson, Segala-galanya Ambyar, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2020),
hal 116.
0 Komentar