![]() |
doc.internet |
Oleh: Lianita Anggraini*
Alam semesta bukanlah
sebatas campuran debu kosmis yang terjadi secara kebetulan. Menurut Alan Martin
dalam kuliah musim panasnya di tahun 2004, “Alam lihai dan keras kepala,”.
Dosen yang mengampu bidang Fisika Partikel di Universitas Durham ini ingin
menyampaikan bahwa manusia kerap mengira dengan melalui sains para manusia
dapat mengetahui banyak hal mengenai alam semesta. Adanya campur tangan Tuhan atau
“sesuatu yang tidak dapat terduga” menurut penafsiran beberapa ahli fisika,
Tuhan selalu memperlihatkan kecerdikan-Nya ketika teori yang sudah disusun
dengan matang dan cukup kokoh karena didukung data eksperimen atau observasi
yang memadai dengan begitu saja runtuh oleh sekumpulan kecil data yang tidak
pernah terbayangkan.
Situasi seperti inilah yang
menggelisahkan para fisikawan. Sebenarnya, ada keyakinan di dalam benak mereka
(baca: fisikawan) bahwa masih ada prinsip dasar yang sesungguhnya memandu pelbagai
proses alam yang hingga kini belum juga mau membuka diri atau tunduk pada skema
yang coba dipecahkan oleh mereka. Misalnya, ketika mereka menemukan begitu
banyak gejala pada setangkup di wilayah subatom, mereka mengira sudah menemukan
salah satu prinsip keindahan alam. Sesudah berhasil menuangkan beragam
kesetangkupan pada formula matematik dan menemukan pula kesesuaiannya dengan
alam mereka justeru berhadapan pada retakan-retakan halus (soft symmetry
breaking). Pencarian yang melelahkan dan melibatkan banyak peran fisikawan
akhirnya tereliminasi dengan munculnya sebuah probabilitas yang menarik mereka
yang mana merupakan sebuah ketaksetangkupan yang lebih menggoda.
Kesetangkupan adalah sebuah
rancangan pokok alam semesta, namun pengejawantahannya bisa sempurna menurut
syarat-syarat tertentu atau sama sekali berlawanan. Sedangkan ketaksetangkupan
ini muncul karena adanya bagian yang lebih atau kurang dibandingkan bagian
lainnya. Mungkin berdasarkan berbagai pengalaman para ahli fisika, alam ingin
kita wapada pada banyak perkara di dalam kehidupan. Kita memang sering mengira
bahwa kita bebas untuk memilih satu hal lebih daripada lainnya, tetapi suatu
hari kita akan sadar bahwa selama ini kita hanya terkecoh oleh kelicikan dari
sebuah penampakan.
“Estetika” Tuhan dalam
Entitas Persamaan Matematika
“Keindahan” yang dimaksudkan
oleh para ilmuwan bukanlah keindahan visual yang sehari-hari bertebaran di
sekitar kita, melainkan keindahan yang muncul dari Tuhan. Namun dalam kacamata
epistemologi, keindahan yang dimaksud para ilmuwan justeru menimbulkan masalah
yang tidak sederhana. Kebanyakan filsuf sains berpendapat bahwa putusan estetik
dalam sains mengakar dalam dimensi konstektual yang mana acuannya lebih
dipandang sebagai efek samping psikologis karena dianggap sebagai sesuatu yang
bersifat emotif dan idiosinkreti sehingga sumbangannya terhadap kemajuan sains
diterima sebatas perannya dalam proses penemuan (peran heuristik).
Epistemologi masih belum
menempatakan keindahan sebagai salah satu kriteria seorang ilmuwan dalam
memilih teori ketika ilmuwan tersebut dihadapkan dengan beberapa teori yang
semuanya memadai secara empiris. Tentu bukan lah hal yang mudah untuk
mengintegrasikan antara keindahan dalam sebuah teori dengan keadan empirik,
terlebih di bawah tekanan ketat ide tentang rasionalitas sains. Seperti, ketika
Paul Dirac (1963) menyatakan bahwa pertimbangan keindahan sebuah persamaan
matematika jauh lebih penting daripada kesesuaiannya dengan eksperimen.
Berbeda dengan pandangan
Einsten yang menegaskan bahwa eksperimen merupakan kriteria utama bagi kegunaan
(fisis) sebuah kontruksi matematik. Ia mengkritik teori gravitasi Arthur
Eddington yang indah tetapi tidak bermakna secara fisika. Di sini, keindahan
yang dipahami adalah sebagai nilai dan bukan semata pemaparan mengenai ciri
obyek. Keindahan ada di tahap abstraksi intelektual yaitu dalam nilai estetik
yang dikandung oleh sebuah teori atau pun formula matematika. Contoh pada
persamaan Euler, eiʚ + 1 = 0, tidak hanya dipandang sebagai persaman
yang mengandung sembilan konsep matematika dalam satu ekspresi sederhana tetapi
memunculkan pertanyaan “adakah yang lebih mistis daripada interaksi antara
bilangan real dan bilangan imajiner untuk dapat menghasilkan suatu ketiadaan?”.
Secara umum dapat dikatakan
jika kriteria estetik yang kerap disebut ilmuwan sebagai kesetangkupan
intrinsik antara koherensi ide, kejernihan konseptual, sifat komprehensif
teori, kedalaman tilikan dan lain sebagainya adalah kata lain dari: “adanya
persamaan matematika terasa memukau karena dengan sedikit simbol” yang mana
persaman ini lah yang kemudian mengubah persepsi kita tentang dunia dan
mengintegrasikan alam secara baru dengan cara mendefinisikan ulang
entitas-entitas fisika.
Tantangan Dilematik
Pembangunan Kosmologi
Apa pun pernyataan yang
disampaikan oleh para ilmuwan akan menghadirkan suatu tantangan besar bila
dipadukan dengan suara teolog atau agamawan tentang alam. Boleh jadi,
interpretasi yang ada mungkin terlalu kecil atau justeru terlalu besar.
Kalaupun kosmologi masa kini belum mampu menyediakan argumen-argumen yang mudah
bagi orang beriman kala berhadapan dengan agnotisisme atau pun ateisme,
kosmologi modern setidaknya sedikit membentangkan ruangwaktu sebagai kawasan
real yang pantas direfleksikan.
Pendekatan yang digunakan
dalam kosmologi modern adalah pendekatan matrealistik yang justeru
mengakibatkan alam semesta yang masuk ke dalam telaah kosmologi adalah alam
semesta fisika. Pendekatan ini juga mengakibatkan sintesis besar untuk memahami
alam semesta sebagai keseluruhan menjadi bagian teoritik dari sains empirik.
Kosmologi yang hakikatnya terlahir sebagai jawaban atas kerinduan manusia akan
asal-usul dan kemana manusia itu akan pergi pada ujung waktu dibiaskan pada
arah pendekatan modern fisika dan astronomi yang menggiring kosmologi menjadi
sains yang khusus atau tempat kriteria kebenaran korespondensi yang justeru
tidak bisa diberlakukan secara naif.
Hal ini bisa saja terhenti
jika kosmolog memilih bentuk empirik-konstruktif bagi kosmologinya, disitulah
ia akan terbebaskan dari dogma empirisisme. Sebagai sains yang khas, kosmologi
empirik-konstruktif tidak menunjuk ke figur yang hadir jernih dan terpilah di
dalam kesadaran. Ia akan lebih menunjuk ke lanskap yang memungkinkan figur itu
ada, berhubungan satu dengan yang lainnya dan bermakna sebagai obyek kesadaran.
Keberadaan lanskap itu sendiri tidak disadari tetapi menjadi syarat untuk bisa
mengungkap figur secara nyata dan mengekplisitkannya menjadi pernyataan
pengetahuan.
Hanya ketika seseorang siap
untuk berpikir melampaui tatanan empirik, kosmologi membuka ruang bagi dirinya
sendiri untuk menjalankan sebuah kosmologi yang mana esensi kosmologi akan
terlihat dan tidak lagi tersamarkan. Dengan kata lain, trasionalitas sains
dalam pengertiannya tidak lagi dianggap teramat kikir karena meletakkan alam
semesta ke dalam cakrawala terukur.
Sementara itu, inilah
sejatinya tantangan terbesar dari dilematik sains yang belum sepenuhnya
terjawab adalah: sains seperti apa yang bisa mengerti hubungan manusia dengan
alam, bukan sains yang melulu menjelaskan alam? Sains bagaimana yang mampu
menempatkan manusia dan seluruh kehidupan di sekitarnya sebagai titik tolak
kajian? Demikian, sehingga apapun yang dibangun tidak berkontradiksi dengan
fakta indah yang paling tidak bisa dibantah, yaitu “keberadaan manusia” sebagai komponen integral dalam sebuah sistem
energi yang tak terhingga. Karena
hanya dengan memahami kodrat
eksistensi manusia sendiri sebagai entitas kekuatan hidup, manusia mampu
memahami kodrat sistem yang lebih luas itu juga jagat raya ini secara
keseluruhan. Itulah
rasionalitas sains.
*Penulis adalah anggota
Biro Pers dan Wacana Masa Juang 2016-2017
0 Komentar