Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

KEMAJUAN SAINS DAN TEKNOLOGI; Peradaban atau Kebiadaban?

doc.internet
Oleh: Rusmadi

Perkembangan dunia saat ini telah sampai pada prestasi peradaban manusia yang adiluhung di bidang sains dan teknologi. Sejarah mencatat bahwa dalam kurun waktu kurang lebih tiga ratus tahun terakhir, sains dan teknologi telah memberikan kemajuan yang signifikan dalam hal temuan-temuan ilmiah, baik pada rana teoritis maupun pada rana praksis. Dengan akal budi manusia, sains dan teknologi berkembang melalui kreativitas penemuan (discovery), rekayasa (engineering), inovasi (innovation), dan penciptaan (creation).

Kemajuan sains dan teknologi menjadi bukti nyata akan kemampuan akal budi manusia yang begitu digdaya. Di bidang sains misalnya, semua fenomena alam dan sosial dapat dijelaskan melalui berbagai disiplin ilmu tertentu, baik ilmu-ilmu kealaman, sosial-humaniora, maupun ilmu-ilmu terapan. Bahkan, berbagai disiplin ilmu telah mengalami spesialisasi pada bidang tertentu secara spesifik. Prestasi itu, seolah mengantarkan kita pada suatu kondisi “tidak ada fenomena yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah, dan tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh sains dan teknologi”.

Jargon tersebut, sah-sah saja, dan mungkin saja begitulah adanya. Kita telah memasuki era dimana tidak ada lagi masalah di dunia ini yang belum pernah didekati dan dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Sains berkembang sedemikian atraktif, dan masuk ke semua aspek kehidupan manusia, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Begitu juga dengan perkembangan teknologi dan ilmu-ilmu terapan. Tidak ada kehidupan manusia yang tidak bersentuhan dengan teknologi. Teknologi telah melayani manusia sedemikian rupa, sehingga keterbatasan-keterbatasan manusia hampir tak lagi tampak. Tiga bidang ilmu, yakni genetika, nanoteknologi, dan robotika telah tampil digdaya di tengah-tengah kehidupan manusia modern melalui karya teknologi tepat guna (sederhana), teknologi madya, dan teknologi tinggi (high technology).

Kemajuan sains dan teknologi telah menjadi mata rantai kehidupan yang tak terpisahkan dari kehidupan dan eksistensi manusia. Bahkan, terkadang mengangkangi eksistensi manusia itu sendiri. Orang seringkali justru menjadi semakin bodoh gara-gara teknologi. Kita bisa banyak menjumpai, bagaimana orang justru tidak tahu apa yang harus ia lakukan karena semuanya telah dilakukan oleh teknologi dengan sistem otomatis. Ya, semuanya telah serba otomatis, hingga manusia tidak lagi melakukan apa pun, lalu ia lupa akan kemampuannya sendiri. Ia menjadi bodoh karena teknologi. Bisa jadi ini hanya kesan yang absurd dalam melihat kehadiran teknologi yang begitu atraktif menggantikan peran-peran manusia. Tetapi sejatinya kita, sebagai bagian dari umat global, juga menyaksikan keprihatinan yang lain, terutama bagaimana mendudukkan perkembangan sains dan teknologi itu pada sudut pandang yang lain: hakikat ilmu, keadilan sosial, dan keberlanjutan. Tentu saja ini tidak sedang mengajak kita untuk antipati dan alergi terhadap perkembangan sains dan teknologi. Tetapi, nyatalah bahwa perkembangan sains dan teknologi telah meninggalkan problem krusial.

Problem Hakikat Ilmu
Perkembangan sains dan teknologi telah menandai pemikiran manusia menuju fase baru dimana orang tidak lagi mendasarkan kebenaran pada mitos-mitos. Penyelidikan-penyelidikan ilmiah telah mendasari apa yang disebut sebagai kebenaran. Kebenaran yang bersumber dari mitos-mitos telah disingkirkan oleh kebenaran ilmiah. Tidak ada lagi fenomena-fenomena yang tidak bisa dijawab secara ilmiah. Di bidang sains misalnya, semua fenomena alam dan sosial dapat dijelaskan melalui berbagai disiplin ilmu tertentu, baik ilmu-ilmu kealaman, sosial-humaniora, maupun ilmu-ilmu terapan. Bahkan, berbagai disiplin ilmu telah mengalami spesialisasi pada bidang tertentu secara spesifik yang mengagumkan.

Prestasi ini memang membanggakan, ilmu telah berkembang dan berjalan hingga ke titik terjauh dalam mata rantai sejarah ilmu pengetahuan. Kendati demikian, spesialisasi-spesialisasi ilmu itu juga menimbulkan sebuah problema. Atas dasar spesialisasi, disiplin ilmu tertentu menganggap bidang keilmuannya yang paling penting, dan paling mampu menjawab hingga ke jantung persoalan. Tak pelak, spesialisasi ilmu kemudian mengabaikan eksistensi ilmu lain. Pengabaian atas eksistensi ilmu yang lain itu, sejatinya adalah narasi tentang tercerabutnya ilmu pengetahuan dari akar ontologisnya. Jika hal ini yang terjadi, maka sejarah ilmu pengetahuan itu sesungguhnya sedang menarik kembali dan berjalan mundur.

Pentingnya mendudukkan kembali ilmu pada akar ontologisnya adalah tantangan yang perlu diselesaikan oleh para ilmuwan. Karena ilmu pengetahuan sejatinya saling berelasi satu sama lain. Tidak ada ilmu yang lebih penting dan lebih unggul dari pada ilmu yang lain meski ia telah bersifat spesialis sekalipun. Pada titik inilah kita menyadari betul pentingnya hakikat kesatuan ilmu (unity of sciences). Paradigma kesatuan ilmu meyakini bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan tidak saling menafikan satu sama lain, karena sesungguhnya hakikat ontologisnya sama: semua ilmu bersumber dari sumber yang sama, yakni Tuhan sebagai sumber segala ilmu. sang pencipta, sang pengatur dengan keteraturannya. Tuhan memancarkan hakikat ilmu melalui hukum-hukum alamiahnya. Manusia hanya bertindak sebagai menggali ilmu dari fenomena alam yang diamatinya.  

Pada konteks itu, kita percara bahwa sains sebagai “body of knowledge” adalah hasil abstraksi manusia dari sumber alami melalui berbagai fenomena yang diamatinya, baik fenomena alam maupun sosial. Kemudian fenomena tersebut direpresentasikan ke dalam berbagai model yang membentuk suatu ilmu. Maka kebenaran sains adalah bila dan hanya bila suatu fenomena alami dapat cocok (fit) pada model-model dari suatu ilmu yang berlaku. Bila model dalam suatu ilmu yang dianut tidak lagi dapat merepresentasikan suatu fenomena alami tertentu, maka fenomena tersebut merupakan suatu anomali. Namun anomali tidak dapat terjadi berulang kali. Bila hal demikian ditemui maka paradigma tersebutpun mengalami krisis dan gugur sebagai ilmu yang absah untuk kemudian digantikan oleh model baru yang membentuk ilmu baru pula (Kuhn, 1996).

Fenomena alami dan kebenaran yang ada di baliknya sebenarnya telah beroperasi sejak jauh sebelum manusia ada, misalnya gaya gravitasi dan elektromagnetik, kekekalan energi, adanya elektron dan neutron di dalam atom, dan lain sebagainya merupakan kebenaran alami yang telah ada dan beroperasi sebelum manusia menemukannya dan menetapkannya sebagai sebuah ilmu. Oleh karena itu, kebenaran alami yang kemudian disebut ilmu merupakan temuan (discovery) manusia. Tetapi, tanpa manusia pun kebenaran alami itu tetap beroperasi.

Sementara teknologi merupakan buah karya manusia yang berupa penerapan (exercise) dari pada sains itu sendiri. Dengan kebenaran sains, manusia kemudian mendayakan akal pikirannya untuk melakukan upaya rekayasa menjadi suatu produk yang kongkrit (bukan lagi abstrak sebagaimana sains). Teknologi berasumsi bahwa kebenaran sains perlu kongkritkan dalam sebuah rekayasa dan penciptaan teknologi yang dapat membantu manusia dalam kehidupannya. Oleh karenanya, teknologi adalah cipta karsa manusia yang bersumber dari kebenaran sains yang bertujuan untuk memperoleh kebaikan dan kemudahan dalam hidup.

Keterasingan Manusia dan Munculnya Kelompok Radikal Baru
Kita telah mendapatkan kesimpulan kecil, bahwa perkembangan sains dan teknologi kemudian memiliki andil besar dalam terbentuknya peradaban manusia. Dalam mengarungi kehidupannya, manusia telah banyak terbantu oleh hadirnya sains dan teknologi. Akan tetapi, selain telah menyisakan persoalan mendasar berupa keterpisahan ilmu, perkembangan sains dan teknologi juga menyisakan problem yang lain, yakni persoalan keterasingan manusia (sosial) dan keberlanjutan (lingkungan). Pada titik ini, kita patut mempertanyakan secara aksiologis atas prestasi manusia di bidang sains dan teknologi.

Tentang keterasingan manusia ini, kita mendapatkan perspektif yang cukup baru soal “sejarah masa depan” dari seorang futuris, Prof. Yuval Noah Harari. Andri Syah telah menuliskan pandangan Harari itu dengan sangat apik dalam kolom di Qureta (12 September 2016). Harari berbicara tentang sejarah, tetapi bukan ke sejarah masa lalu, melainkan sejarah masa depan. Sejarah sering bercerita tentang masa lalu hingga hari ini, tetapi tidak banyak yang bercerita tentang apa yang akan terjadi sesudah itu. Harari juga mewanti-wanti bahwa ia tidak sedang berbicara tentang sesuatu yang pasti terjadi pada masa yang akan datang. Ia hanya mengingatkan komunitas global, bahwa manusia sedang menghadapi perubahan radikal sebagai akibat dari kemajuan sains dan teknologi. Manusia mengalami transisi besar-besaran: dari wujud organik (human), dan akan berevolusi menjadi wujud non-organik (post-human). Kita mungkin membayangkan apa yang dipikirkan Harari ini layaknya cerita fiksi ilmiah di film-film Hollywood kenamaan Amerika.

Andri Syah juga menyajikan pandangan serupa dari Direktur Teknologi Google, Ray Kurzweil yang berbicara tentang teori singularitas: suatu masa dimana kemajuan sains dan teknologi telah membawa peradaban manusia ke arah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebagai seorang pakar teknologi, ia bercerita dengan gamblang tentang peta jalan evolusi manusia dilihat dari sisi kemajuan teknologi. Dalam tulisannya, The Singularity is Near, Kurzweil berpendapat bahwa manusia sekarang menghadapi epos ke lima. Epos dimana manusia dan mesin akan menjadi satu. Menurut dia, hal ini akan terjadi sebagai akibat dari kemajuan di tiga bidang: Genetika, Nanoteknologi, dan Robotika. Ketiganya adalah bidang yang menjadikan segala hal yang sebelumnya dianggap tidak mungkin menjadi mungkin. Ketiga bidang tesebut akan mentransfomasi umat manusia dari makhluk organik menjadi non-organik (post-human). Melalui ketiga teknologi tesebut, spesies manusia baru akan lahir, dan merupakan kelanjutan dari evolusi manusia sebelumnya.

Namun, tulis Andry Syah, kedua futuris ini sepakat akan satu hal. Transisi dari wujud organik (human) ke wujud non-organik (posthuman) bukan tanpa resiko. Akan ada banyak bahaya yang mengintai. Baik itu yang berasal dari teknologi ataupun manusia. Dari sisi teknologi, ambil contoh misalnya kecerdasan buatan (artificial intelligence). Para ahli memprediksi bahwa kecerdasan buatan dalam waktu dekat akan menimbulkan keterasingan manusia dari peran-peran produktif dan sosial. Menurut Harari, manusia hanya memiliki dua jenis modal: tenaga dan pikiran (kognitif). Setelah Revolusi Industri, mesin mampu menggantikan tenaga manual manusia. Oleh karenanya, ketika pekerjaan manual mulai berkurang manusia dengan mudah hijrah pada pekerjaan yang sifatnya kognitif. Di sinilah fase keterasingan manusia dimulai.

Pada fase berikutnya, manusia semakin terasing karena mesin telah mulai mampu mengimbangi kemampuan kognitif manusia. Ini mengancam satu-satunya modal terakhir manusia, yakni pikiran (kognisi). “Apa yang akan dilakukan ketika mesin telah menggantikan pelayan toko, dokter, sopir bahkan pengacara? Apa yang akan dilakukan dengan jutaan tenaga manusia yang tidak berguna?” Tanya Harari.

Bahaya lain yang timbul dari transisi ini adalah bahaya yang datang dari manusia itu sendiri. Diperkirakan kelompok radikal baru akan muncul. Bisa jadi akan ada kelompok yang menolak karena mereka adalah “korban” dari pengambilalihan peran produktif dan sosial manusia oleh mesin seperti halnya kaum Luddite yang menolak penggunaan mesin di Inggris pada abad 19. Atau, bisa juga akan muncul kelompok yang menolak karena teknologi telah keluar dari kefitrahan hidup yang digariskan agama, sehingga muncullah gerakan revivalisme baru. Perkembangan sains dan teknologi telah mengarahkan manusia menjadi jauh dari identitas dan cita-cita agama. Lebih-lebih, mereka beranggapan bahwa sains dan teknologi modern dibuat oleh tangan-tangan orang kafir, sehingga sudah selayaknya kita menjaukan diri dari hal-al yang berbau kafir, termasuk hasil karyanya, karena khawatir akan menodai kemurnian tauhidnya.

Tidak menutup kemungkinan mereka yang termarjinalkan dan terasing itu akan menyalurkan rasa frustasinya dengan jalan kekerasan. Akibatnya konflik sosial yang dipicu oleh keterasingan manusia dan munculnya kelompok radikal baru ini benar-benr menjadi ancaman bagi peradaban manusia itu sendiri. Sesuatu yang menjadi absurd, di satu sisi kemajuan sains dan teknologi adala prestasi membanggakan manusia, tetapi di saat yang sama ia bisa saja menjadi pemicu munculnya problem sosial baru: munculnya keterasingan manusia dan kelompok radikal baru. Hugo de Garis (2005), dalam bukunya The Artilect War telah mendeskripsikan dengan jelas tentang potensi konflik yang muncul akibat keterasingan manusia oleh teknologi ini.

Degradasi dan Kerusakan Lingkungan
Apa yang dibayangkan oleh Harari dan Kurzweil, kemudian de Garis, mungkin saja hanyalah mimpi di siang bolong, toh itu layaknya hipotesis, sifatnya prediksi, masih perlu pembuktian, dan tentu saja belum tentu terbukti kebenarannya. Tetapi kita jangan terburu-buru menghakimi pandangan Harari, Kurzweil, dan de Garis itu hanyalah mimpi di siang bolong atau hipotesis yang tak punya dasar. Lihat apa yang dilaporkan The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada akhir abad ke-19, atau tepatnya tahun 1989. Dalam buku One World or Several, OECD telah memprediksi tantangan masa depan meski tidak sedahsyat prediksi Harari dan Kurzweil. Tetapi, buku yang merupakan hasil simposium Paris itu telah menyajikan data tentang tujuh masalah besar yang dihadapi manusia masa depan di tengah kemajuan sains dan teknologi, yakni: (1) Reaktivasi dunia secara menyeluruh, (2) Globalisasi versus regionalisasi, (3) Pengembangan sumber daya menusia dan pengelolaan pemerintah, (4) Kontrak pembangunan (5) Pendirian regiun energi internasional menghadapi perubahan lingkungan yang semakin destruktif, (6) Migrasi internasional, (7) Memikirkan kembali nasib buruh-buruh negara agraris (Amin Rais dalam Tuhuleley,1993).

Saat ini, apa yang diprediksi oleh OECD mungkin sudah kita rasakan. Bagaimana globalisasi menerabas batas-batas bangsa, bahkan hingga ke gang-gang kecil di perkampungan. Kampung kita sudah menjadi kampung global, yang mungkin cara hidup masyarakatnya juga sama dengan cara hidup masyarakat global. Juga bagaimana tantangan buruh-buruh di negara-negara berkembang yang terus bersitegang. Konflik kelas majikan dan buruh selalu menghiasi relasi-relasi sosial industrial. Juga bagaimana degradasi dan kerusakan lingkungan yang terus mengkhawatirkan. Para ekolog mengatakan, bahwa saat ini kita sejatinya sedang mengalami bunuh diri lingkungan. Secara pelan-pelan, kita memang sedang “menggali kuburnya sendiri” akibat ulah tangan manusia yang tidak arif pada lingkungannya. Tiga persoalan ini adalah kenyataan-kenyataan yang tak terbantahkan. Hal ini menunjukkan bahwa pada akhir abad ke-19 saja permasalahan yang dihadapi umat manusia semakin kompleks seiring dengan kemajuan dan teknologi itu.

Jeffrey D. Sachs (2011), juga mempredksi hal yang sama sebagaimana OECD. Dalam buku Common Wealth: Economics for a Crowded Planet, ia menyatakan bahwa dunia sekarang sedang mengalami banyak tantangan, seperti kemiskinan, degradasi lingkungan dan juga konflik. Pada kenyataannya, kemajuan sains dan teknologi secara tidak langsung telah melahirkan masalah lingkungan secara akut: seperti degradasi dan kerusakan lingkungan, polusi (udara, air, dan tanah), ledakan sampah, radiasi, toxit, hujan asam, pemanasan global, perubahan iklim, naiknya permukaan air laut, dll. Jika kita abaikan akan semakin mengancam eksistensi kelestarian kehidupan.

Akar filsafat dari terjadinya kerusakan lingkungan bisa dilacak dari cara pandang yang keliru terhadap alam. Langdon Gilkey (1993), dalam Nature, Reality and the Sacred the Nexus of Science and Religion menyatakan bawa relasi-relasi modern terhadap alam semesta, bahkan sikap dan pandangan manusia modern terhadap alam, telah mendorong berbagai bencana yang terjadi dewasa ini. Sedangkan Gregory Bateson (2000) dalam Steps to An Ecology of Mind menyatakan: sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan epistemologi Barat. Mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antartika. Di atas segalanya, dorongan fantastik kita untuk menyelamatkan kehidupan-kehidupan perorangan telah menciptakan kemungkinan bahaya kelaparan dunia di masa mendatang.

Mencari Jalan Keluar
Narasi-narasi di atas menyajikan pemahaman kepada kita bahwa kemajuan sains dan teknologi layaknya dua sisi mata uang. Di satu sisi merupakan prestasi akal budi manusia yang membanggakan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan karya manusia melalui kreativitas penemuan (discovery), rekayasa (engineering), inovasi (innovation), dan penciptaan (creation). Kemajuan sains dan teknologi telah melahirkan peradaban manusia yang gemilang, dan membanggakan. Tetapi di sisi lain, kemajuan sains dan teknologi juga memunculkan masalah yang komplek, baik bagi peradaban manusia itu sendiri maupun maupun bagi keberlanjutan lingkungan. Terjadinya keterasingan manusia, munculnya gerakan radikal baru, dan kerusakan lingkungan adalah tiga pembuktian utama atas hipotesis “kebiadaban” yang muncul akibat kemajuan sains dan teknologi.

Meskipun demikian, sebagai saintis, kita perlu memikirkan jalan keluar atas tragedi kebiadaban ini. Jika kita mengikuti kaidah ushul fiqh, yang menyatakan bahwa “mendahulukan yang mendatangkan mahdlorot (dampak negatif) lebih diutamakan dari pada berbuat kebaikan”, maka memikirkan jalan keluar terhadap tiga masalah utama, yakni keterasingan manusia, munculnya gerakan radikal baru, dan kerusakan lingkungan harus didahulukan daripada memikirkan keebatan manusia dalam kemajuan sains dan teknologi. Hal ini karena yang lebih banyak mendatangkan madlorot tentu saja adalah munculnya tiga masalah utama itu. Sementara peradaban manusia yang ditopang dari kemajuan sains dan teknologi bukanlah suatu kemahdlorotan.

Untuk mencari jalan keluar, kita bisa memulainya dari mengembalikan hakikat ilmu ke dasar ontologisnya dan menjaga ilmu tetap pada jalur aksiologisnya. Pentingnya mendudukkan kembali ilmu pada akar ontologisnya dan menjaga ilmu tetap pada jalur aksiologisnya adalah tantangan yang perlu diselesaikan oleh para ilmuwan. Pada titik inilah kita menyadari betul pentingnya hakikat kesatuan ilmu (unity of sciences) yang meyakini bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan tidak saling menafikan satu sama lain, karena sesungguhnya hakikat ontologisnya sama: semua ilmu bersumber dari sumber yang sama, yakni Tuhan sebagai sumber segala ilmu, sang pencipta, sang pengatur dengan keteraturannya. Tuhan memancarkan hakikat ilmu melalui hukum-hukum alamiahnya. Manusia hanya bertindak sebagai menggali ilmu dari fenomena alam yang diamatinya. Oleh karenanya, ilmu –selain tidak saling menafikan antar ilmu yang satu dengan ilmu yang lain- juga harus memancarkan nilai-nilai ketuhanan.

Jika para saintis dan para teknolog mendudukan ilmu pada jalan ontologis dan sekaligus berjalan pada jalur aksiologisnya, maka teknologi yang dihasilkan adalah teknologi yang humanis dan spiritualis, juga tidak ramah pada alam. Teknologi yang humanis adalah teknologi yang tidak serta merta berbicara pada teknis, tetapi juga misalnya tetap memperhatikan aspek sosiologis, psikologis, dan bahkan antropologis dari subjek teknologi itu sendiri. Sehingga tidak memunculkan masalah sosial yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh ekses teknologi. Sementara teknologi yang spiritualis adala teknologi yang selain memperhatikan aspek sosiologis dan psikologis, juga memperhatikan aspek kebaikan dan keadilan, tidak merendakan martabat ciptaan Tuhan. Sementara teknologi yang ramah pada alam adalah teknologi yang mampu memperhatikan keberlanjutan hidup dalam ekosistem, dan tidak menyebabkan degradasi dan kerusakan lingkungan.


*Penulis adalah Dosen Fakultas Sains dan Teknologi 
serta Anggota di Lembaga Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) 


Posting Komentar

0 Komentar