Perkembangan dunia saat ini telah
sampai pada prestasi peradaban manusia yang adiluhung di bidang sains dan
teknologi. Sejarah mencatat bahwa dalam kurun waktu kurang lebih tiga ratus
tahun terakhir, sains dan teknologi telah memberikan kemajuan yang signifikan
dalam hal temuan-temuan ilmiah, baik pada rana teoritis maupun pada rana
praksis. Dengan akal budi manusia, sains dan teknologi berkembang
melalui kreativitas penemuan (discovery), rekayasa (engineering),
inovasi (innovation), dan penciptaan (creation).
Kemajuan sains dan teknologi menjadi
bukti nyata akan kemampuan akal budi manusia yang begitu digdaya. Di bidang
sains misalnya, semua fenomena alam dan sosial dapat dijelaskan melalui
berbagai disiplin ilmu tertentu, baik ilmu-ilmu kealaman, sosial-humaniora,
maupun ilmu-ilmu terapan. Bahkan, berbagai disiplin ilmu telah mengalami
spesialisasi pada bidang tertentu secara spesifik. Prestasi itu, seolah
mengantarkan kita pada suatu kondisi “tidak ada fenomena yang tidak bisa
dijelaskan secara ilmiah, dan tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan
oleh sains dan teknologi”.
Jargon tersebut, sah-sah saja, dan
mungkin saja begitulah adanya. Kita telah memasuki era dimana tidak ada lagi masalah
di dunia ini yang belum pernah didekati dan dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.
Sains berkembang sedemikian atraktif, dan masuk ke semua aspek kehidupan
manusia, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Begitu juga dengan
perkembangan teknologi dan ilmu-ilmu terapan. Tidak ada kehidupan manusia yang
tidak bersentuhan dengan teknologi. Teknologi telah melayani manusia sedemikian
rupa, sehingga keterbatasan-keterbatasan manusia hampir tak lagi tampak. Tiga
bidang ilmu, yakni genetika, nanoteknologi, dan robotika telah tampil digdaya
di tengah-tengah kehidupan manusia modern melalui karya teknologi tepat guna
(sederhana), teknologi madya, dan teknologi tinggi (high technology).
Kemajuan sains dan teknologi telah
menjadi mata rantai kehidupan yang tak terpisahkan dari kehidupan dan
eksistensi manusia. Bahkan, terkadang mengangkangi eksistensi manusia itu
sendiri. Orang seringkali justru menjadi semakin bodoh gara-gara teknologi.
Kita bisa banyak menjumpai, bagaimana orang justru tidak tahu apa yang harus ia
lakukan karena semuanya telah dilakukan oleh teknologi dengan sistem otomatis. Ya,
semuanya telah serba otomatis, hingga manusia tidak lagi melakukan apa pun,
lalu ia lupa akan kemampuannya sendiri. Ia menjadi bodoh karena teknologi. Bisa
jadi ini hanya kesan yang absurd dalam melihat kehadiran teknologi yang begitu
atraktif menggantikan peran-peran manusia. Tetapi sejatinya kita, sebagai
bagian dari umat global, juga menyaksikan keprihatinan yang lain, terutama
bagaimana mendudukkan perkembangan sains dan teknologi itu pada sudut pandang
yang lain: hakikat ilmu, keadilan sosial, dan keberlanjutan. Tentu saja ini tidak
sedang mengajak kita untuk antipati dan alergi terhadap perkembangan sains dan teknologi.
Tetapi, nyatalah bahwa perkembangan sains dan teknologi telah meninggalkan problem
krusial.
Problem Hakikat Ilmu
Perkembangan sains dan teknologi telah
menandai pemikiran manusia menuju fase baru dimana orang tidak lagi mendasarkan
kebenaran pada mitos-mitos. Penyelidikan-penyelidikan ilmiah telah mendasari
apa yang disebut sebagai kebenaran. Kebenaran yang bersumber dari mitos-mitos
telah disingkirkan oleh kebenaran ilmiah. Tidak ada lagi fenomena-fenomena yang
tidak bisa dijawab secara ilmiah. Di bidang sains misalnya, semua fenomena alam
dan sosial dapat dijelaskan melalui berbagai disiplin ilmu tertentu, baik
ilmu-ilmu kealaman, sosial-humaniora, maupun ilmu-ilmu terapan. Bahkan,
berbagai disiplin ilmu telah mengalami spesialisasi pada bidang tertentu secara
spesifik yang mengagumkan.
Prestasi ini memang membanggakan,
ilmu telah berkembang dan berjalan hingga ke titik terjauh dalam mata rantai
sejarah ilmu pengetahuan. Kendati demikian, spesialisasi-spesialisasi ilmu itu juga
menimbulkan sebuah problema. Atas dasar spesialisasi, disiplin ilmu tertentu
menganggap bidang keilmuannya yang paling penting, dan paling mampu menjawab
hingga ke jantung persoalan. Tak pelak, spesialisasi ilmu kemudian mengabaikan
eksistensi ilmu lain. Pengabaian atas eksistensi ilmu yang lain itu, sejatinya
adalah narasi tentang tercerabutnya ilmu pengetahuan dari akar ontologisnya. Jika
hal ini yang terjadi, maka sejarah ilmu pengetahuan itu sesungguhnya sedang
menarik kembali dan berjalan mundur.
Pentingnya mendudukkan kembali ilmu
pada akar ontologisnya adalah tantangan yang perlu diselesaikan oleh para
ilmuwan. Karena ilmu pengetahuan sejatinya saling berelasi satu sama lain.
Tidak ada ilmu yang lebih penting dan lebih unggul dari pada ilmu yang lain meski
ia telah bersifat spesialis sekalipun. Pada titik inilah kita menyadari betul
pentingnya hakikat kesatuan ilmu (unity of sciences). Paradigma kesatuan
ilmu meyakini bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan tidak saling menafikan satu
sama lain, karena sesungguhnya hakikat ontologisnya sama: semua ilmu bersumber
dari sumber yang sama, yakni Tuhan sebagai sumber segala ilmu. sang pencipta,
sang pengatur dengan keteraturannya. Tuhan memancarkan hakikat ilmu melalui
hukum-hukum alamiahnya. Manusia hanya bertindak sebagai menggali ilmu dari
fenomena alam yang diamatinya.
Pada konteks itu, kita percara bahwa
sains sebagai “body of knowledge” adalah hasil abstraksi manusia dari
sumber alami melalui berbagai fenomena yang diamatinya, baik fenomena alam
maupun sosial. Kemudian fenomena tersebut direpresentasikan ke dalam berbagai
model yang membentuk suatu ilmu. Maka kebenaran sains adalah bila dan hanya
bila suatu fenomena alami dapat cocok (fit) pada model-model dari suatu
ilmu yang berlaku. Bila model dalam suatu ilmu yang dianut tidak lagi dapat
merepresentasikan suatu fenomena alami tertentu, maka fenomena tersebut
merupakan suatu anomali. Namun anomali tidak dapat terjadi berulang kali. Bila
hal demikian ditemui maka paradigma tersebutpun mengalami krisis dan gugur
sebagai ilmu yang absah untuk kemudian digantikan oleh model baru yang
membentuk ilmu baru pula (Kuhn, 1996).
Fenomena alami dan kebenaran yang ada
di baliknya sebenarnya telah beroperasi sejak jauh sebelum manusia ada,
misalnya gaya gravitasi dan elektromagnetik, kekekalan energi, adanya elektron
dan neutron di dalam atom, dan lain sebagainya merupakan kebenaran alami yang
telah ada dan beroperasi sebelum manusia menemukannya dan menetapkannya sebagai
sebuah ilmu. Oleh karena itu, kebenaran alami yang kemudian disebut ilmu
merupakan temuan (discovery) manusia. Tetapi, tanpa manusia pun
kebenaran alami itu tetap beroperasi.
Sementara teknologi merupakan buah
karya manusia yang berupa penerapan (exercise) dari pada sains itu sendiri. Dengan
kebenaran sains, manusia kemudian mendayakan akal pikirannya untuk melakukan
upaya rekayasa menjadi suatu produk yang kongkrit (bukan lagi abstrak
sebagaimana sains). Teknologi berasumsi bahwa kebenaran sains perlu kongkritkan
dalam sebuah rekayasa dan penciptaan teknologi yang dapat membantu manusia
dalam kehidupannya. Oleh karenanya, teknologi adalah cipta karsa manusia yang
bersumber dari kebenaran sains yang bertujuan untuk memperoleh kebaikan dan
kemudahan dalam hidup.
Keterasingan Manusia dan Munculnya Kelompok
Radikal Baru
Kita telah mendapatkan kesimpulan kecil,
bahwa perkembangan sains dan teknologi kemudian memiliki andil besar dalam
terbentuknya peradaban manusia. Dalam mengarungi kehidupannya, manusia telah
banyak terbantu oleh hadirnya sains dan teknologi. Akan tetapi, selain telah
menyisakan persoalan mendasar berupa keterpisahan ilmu, perkembangan sains dan
teknologi juga menyisakan problem yang lain, yakni persoalan keterasingan
manusia (sosial) dan keberlanjutan (lingkungan). Pada titik ini, kita patut mempertanyakan
secara aksiologis atas prestasi manusia di bidang sains dan teknologi.
Tentang keterasingan manusia ini,
kita mendapatkan perspektif yang cukup baru soal “sejarah masa depan” dari seorang
futuris, Prof. Yuval Noah Harari. Andri Syah telah menuliskan pandangan Harari
itu dengan sangat apik dalam kolom di Qureta (12 September 2016). Harari
berbicara tentang sejarah, tetapi bukan ke sejarah masa lalu, melainkan sejarah
masa depan. Sejarah sering bercerita tentang masa lalu hingga hari ini, tetapi
tidak banyak yang bercerita tentang apa yang akan terjadi sesudah itu. Harari
juga mewanti-wanti bahwa ia tidak sedang berbicara tentang sesuatu yang pasti
terjadi pada masa yang akan datang. Ia hanya mengingatkan komunitas global,
bahwa manusia sedang menghadapi perubahan radikal sebagai akibat dari kemajuan
sains dan teknologi. Manusia mengalami transisi besar-besaran: dari wujud
organik (human), dan akan berevolusi
menjadi wujud non-organik (post-human). Kita mungkin membayangkan apa
yang dipikirkan Harari ini layaknya cerita fiksi ilmiah di film-film Hollywood
kenamaan Amerika.
Andri Syah juga menyajikan pandangan
serupa dari Direktur Teknologi Google, Ray Kurzweil yang berbicara tentang
teori singularitas: suatu masa dimana kemajuan sains dan teknologi telah membawa
peradaban manusia ke arah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebagai seorang
pakar teknologi, ia bercerita dengan gamblang tentang peta jalan evolusi
manusia dilihat dari sisi kemajuan teknologi. Dalam tulisannya, The Singularity is Near, Kurzweil berpendapat
bahwa manusia sekarang menghadapi epos ke lima. Epos dimana manusia dan mesin
akan menjadi satu. Menurut dia, hal ini akan terjadi sebagai akibat dari
kemajuan di tiga bidang: Genetika, Nanoteknologi, dan Robotika. Ketiganya
adalah bidang yang menjadikan segala hal yang sebelumnya dianggap tidak mungkin
menjadi mungkin. Ketiga bidang tesebut akan mentransfomasi umat manusia dari makhluk
organik menjadi non-organik (post-human). Melalui ketiga
teknologi tesebut, spesies manusia baru akan lahir, dan merupakan kelanjutan
dari evolusi manusia sebelumnya.
Namun, tulis Andry Syah, kedua
futuris ini sepakat akan satu hal. Transisi dari wujud organik (human) ke wujud non-organik (posthuman)
bukan tanpa resiko. Akan ada banyak bahaya yang mengintai. Baik itu yang
berasal dari teknologi ataupun manusia. Dari sisi teknologi, ambil contoh
misalnya kecerdasan buatan (artificial intelligence). Para ahli
memprediksi bahwa kecerdasan buatan dalam waktu dekat akan menimbulkan keterasingan
manusia dari peran-peran produktif dan sosial. Menurut Harari, manusia hanya
memiliki dua jenis modal: tenaga dan pikiran (kognitif). Setelah Revolusi
Industri, mesin mampu menggantikan tenaga manual manusia. Oleh karenanya, ketika pekerjaan
manual mulai berkurang manusia dengan mudah hijrah pada pekerjaan yang sifatnya
kognitif. Di sinilah fase keterasingan manusia dimulai.
Pada fase berikutnya, manusia semakin
terasing karena mesin telah mulai mampu mengimbangi kemampuan kognitif manusia.
Ini mengancam satu-satunya modal terakhir manusia, yakni pikiran (kognisi).
“Apa yang akan dilakukan ketika mesin telah menggantikan pelayan toko, dokter,
sopir bahkan pengacara? Apa yang akan dilakukan dengan jutaan tenaga manusia
yang tidak berguna?” Tanya Harari.
Bahaya lain yang timbul dari transisi
ini adalah bahaya yang datang dari manusia itu sendiri. Diperkirakan kelompok
radikal baru akan muncul. Bisa jadi akan ada kelompok yang menolak karena
mereka adalah “korban” dari pengambilalihan peran produktif dan sosial manusia
oleh mesin seperti halnya kaum Luddite yang menolak penggunaan
mesin di Inggris pada abad 19. Atau, bisa juga akan muncul kelompok yang
menolak karena teknologi telah keluar dari kefitrahan hidup yang digariskan
agama, sehingga muncullah gerakan revivalisme baru. Perkembangan sains dan
teknologi telah mengarahkan manusia menjadi jauh dari identitas dan cita-cita
agama. Lebih-lebih, mereka beranggapan bahwa sains dan teknologi modern dibuat
oleh tangan-tangan orang kafir, sehingga sudah selayaknya kita menjaukan diri
dari hal-al yang berbau kafir, termasuk hasil karyanya, karena khawatir akan
menodai kemurnian tauhidnya.
Tidak menutup kemungkinan mereka
yang termarjinalkan dan terasing itu akan menyalurkan rasa frustasinya dengan
jalan kekerasan. Akibatnya konflik sosial yang dipicu oleh keterasingan manusia
dan munculnya kelompok radikal baru ini benar-benr menjadi ancaman bagi
peradaban manusia itu sendiri. Sesuatu yang menjadi absurd, di satu sisi
kemajuan sains dan teknologi adala prestasi membanggakan manusia, tetapi di
saat yang sama ia bisa saja menjadi pemicu munculnya problem sosial baru:
munculnya keterasingan manusia dan kelompok radikal baru. Hugo de Garis (2005),
dalam bukunya The Artilect War telah
mendeskripsikan
dengan jelas tentang potensi konflik yang muncul akibat keterasingan manusia
oleh teknologi ini.
Degradasi dan Kerusakan Lingkungan
Apa yang dibayangkan oleh Harari dan Kurzweil,
kemudian de Garis, mungkin saja hanyalah mimpi di siang bolong, toh itu
layaknya hipotesis, sifatnya prediksi, masih perlu pembuktian, dan tentu saja belum
tentu terbukti kebenarannya. Tetapi kita jangan terburu-buru menghakimi pandangan
Harari, Kurzweil, dan de Garis itu hanyalah mimpi di siang bolong atau
hipotesis yang tak punya dasar. Lihat apa yang dilaporkan The Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD) pada akhir abad ke-19,
atau tepatnya tahun 1989. Dalam buku One World or Several, OECD telah
memprediksi tantangan masa depan meski tidak sedahsyat prediksi Harari dan Kurzweil.
Tetapi, buku yang merupakan hasil simposium Paris itu telah menyajikan data
tentang tujuh masalah besar yang dihadapi manusia masa depan di tengah kemajuan
sains dan teknologi, yakni: (1) Reaktivasi dunia secara menyeluruh, (2)
Globalisasi versus regionalisasi, (3) Pengembangan sumber daya menusia dan
pengelolaan pemerintah, (4) Kontrak pembangunan (5) Pendirian regiun energi
internasional menghadapi perubahan lingkungan yang semakin destruktif, (6)
Migrasi internasional, (7) Memikirkan kembali nasib buruh-buruh negara agraris
(Amin Rais dalam Tuhuleley,1993).
Saat ini, apa yang diprediksi oleh
OECD mungkin sudah kita rasakan. Bagaimana globalisasi menerabas batas-batas
bangsa, bahkan hingga ke gang-gang kecil di perkampungan. Kampung kita sudah
menjadi kampung global, yang mungkin cara hidup masyarakatnya juga sama dengan
cara hidup masyarakat global. Juga bagaimana tantangan buruh-buruh di negara-negara
berkembang yang terus bersitegang. Konflik kelas majikan dan buruh selalu
menghiasi relasi-relasi sosial industrial. Juga bagaimana degradasi dan
kerusakan lingkungan yang terus mengkhawatirkan. Para ekolog mengatakan, bahwa
saat ini kita sejatinya sedang mengalami bunuh diri lingkungan. Secara
pelan-pelan, kita memang sedang “menggali kuburnya sendiri” akibat ulah tangan
manusia yang tidak arif pada lingkungannya. Tiga persoalan ini adalah
kenyataan-kenyataan yang tak terbantahkan. Hal ini menunjukkan bahwa pada akhir
abad ke-19 saja permasalahan yang dihadapi umat manusia semakin kompleks seiring
dengan kemajuan dan teknologi itu.
Jeffrey D. Sachs (2011), juga
mempredksi hal yang sama sebagaimana OECD. Dalam buku Common Wealth:
Economics for a Crowded Planet, ia menyatakan bahwa dunia sekarang sedang
mengalami banyak tantangan, seperti kemiskinan, degradasi lingkungan dan juga
konflik. Pada kenyataannya, kemajuan sains dan teknologi secara tidak langsung
telah melahirkan masalah lingkungan secara akut: seperti degradasi dan
kerusakan lingkungan, polusi (udara, air, dan tanah), ledakan sampah, radiasi,
toxit, hujan asam, pemanasan global, perubahan iklim, naiknya permukaan air
laut, dll. Jika kita abaikan akan semakin mengancam eksistensi kelestarian
kehidupan.
Akar filsafat dari terjadinya
kerusakan lingkungan bisa dilacak dari cara pandang yang keliru terhadap alam. Langdon
Gilkey (1993), dalam Nature, Reality and the Sacred the Nexus of Science and
Religion menyatakan bawa relasi-relasi modern terhadap alam semesta, bahkan
sikap dan pandangan manusia modern terhadap alam, telah mendorong berbagai
bencana yang terjadi dewasa ini. Sedangkan Gregory Bateson (2000) dalam Steps
to An Ecology of Mind menyatakan: sudah jelas bagi banyak orang bahwa
banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan epistemologi Barat. Mulai
insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya
topi es antartika. Di atas segalanya, dorongan fantastik kita untuk
menyelamatkan kehidupan-kehidupan perorangan telah menciptakan kemungkinan
bahaya kelaparan dunia di masa mendatang.
Mencari Jalan Keluar
Narasi-narasi di atas menyajikan
pemahaman kepada kita bahwa kemajuan sains dan teknologi layaknya dua sisi mata
uang. Di satu sisi merupakan prestasi akal budi manusia yang membanggakan
sebagai hasil dari cipta, karsa, dan karya manusia melalui
kreativitas penemuan (discovery), rekayasa (engineering),
inovasi (innovation), dan penciptaan (creation). Kemajuan
sains dan teknologi telah melahirkan peradaban manusia yang gemilang, dan
membanggakan. Tetapi di sisi lain, kemajuan sains dan teknologi juga
memunculkan masalah yang komplek, baik bagi peradaban manusia itu sendiri
maupun maupun bagi keberlanjutan lingkungan. Terjadinya keterasingan manusia,
munculnya gerakan radikal baru, dan kerusakan lingkungan adalah tiga pembuktian
utama atas hipotesis “kebiadaban” yang muncul akibat kemajuan sains dan
teknologi.
Meskipun demikian, sebagai saintis,
kita perlu memikirkan jalan keluar atas tragedi kebiadaban ini. Jika kita
mengikuti kaidah ushul fiqh, yang menyatakan bahwa “mendahulukan yang
mendatangkan mahdlorot (dampak negatif) lebih diutamakan dari pada berbuat
kebaikan”, maka memikirkan jalan keluar terhadap tiga masalah utama, yakni
keterasingan manusia, munculnya gerakan radikal baru, dan kerusakan lingkungan
harus didahulukan daripada memikirkan keebatan manusia dalam kemajuan sains dan
teknologi. Hal ini karena yang lebih banyak mendatangkan madlorot tentu saja
adalah munculnya tiga masalah utama itu. Sementara peradaban manusia yang
ditopang dari kemajuan sains dan teknologi bukanlah suatu kemahdlorotan.
Untuk mencari jalan keluar, kita bisa
memulainya dari mengembalikan hakikat ilmu ke dasar ontologisnya dan menjaga ilmu
tetap pada jalur aksiologisnya. Pentingnya mendudukkan kembali ilmu pada akar
ontologisnya dan menjaga ilmu tetap pada jalur aksiologisnya adalah tantangan
yang perlu diselesaikan oleh para ilmuwan. Pada titik inilah kita menyadari
betul pentingnya hakikat kesatuan ilmu (unity of sciences) yang meyakini
bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan tidak saling menafikan satu sama lain,
karena sesungguhnya hakikat ontologisnya sama: semua ilmu bersumber dari sumber
yang sama, yakni Tuhan sebagai sumber segala ilmu, sang pencipta, sang pengatur
dengan keteraturannya. Tuhan memancarkan hakikat ilmu melalui hukum-hukum
alamiahnya. Manusia hanya bertindak sebagai menggali ilmu dari fenomena alam
yang diamatinya. Oleh karenanya, ilmu –selain tidak saling menafikan antar ilmu
yang satu dengan ilmu yang lain- juga harus memancarkan nilai-nilai ketuhanan.
Jika para saintis dan para teknolog
mendudukan ilmu pada jalan ontologis dan sekaligus berjalan pada jalur
aksiologisnya, maka teknologi yang dihasilkan adalah teknologi yang humanis dan
spiritualis, juga tidak ramah pada alam. Teknologi yang humanis adalah
teknologi yang tidak serta merta berbicara pada teknis, tetapi juga misalnya
tetap memperhatikan aspek sosiologis, psikologis, dan bahkan antropologis dari
subjek teknologi itu sendiri. Sehingga tidak memunculkan masalah sosial yang
secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh ekses teknologi.
Sementara teknologi yang spiritualis adala teknologi yang selain memperhatikan
aspek sosiologis dan psikologis, juga memperhatikan aspek kebaikan dan
keadilan, tidak merendakan martabat ciptaan Tuhan. Sementara teknologi yang
ramah pada alam adalah teknologi yang mampu memperhatikan keberlanjutan hidup
dalam ekosistem, dan tidak menyebabkan degradasi dan kerusakan lingkungan.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Sains dan Teknologi
serta Anggota di Lembaga Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP2M)
serta Anggota di Lembaga Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP2M)
0 Komentar