Oleh: Adi Setiawan
\
“Aku capek hidup kayak gini terus bu! Aku juga mau
hidup normal kayak anak-anak lain seumuranku, bukan jadi cewek penghibur kayak
gini!” ucap Nana.
“Lo itu anak haram! Jadi mau bagaimanapun hidup lo bakalan gelap! Terima aja gak usah banyak protes. Layani pelanggan dengan baik kalo lo mau bisa bertahan hidup!” bentak Lina kepada anaknya, Nana.
Jalanan pagi ini ramai lancar
seperti biasanya. Anak-anak pergi sekolah, orang dewasa berangkat kerja dengan
pakaian rapih, ada juga ojek online yang sedang menunggu orderan di tongkrongan
ojol. Ibukota memang menjadi pusat kegiatan ekonomi dan transportasi. Banyaknya
kendaraan yang lalu lalang sebanding dengan polusi yang ditimbulkan, Itulah
jakarta.
Diantara sesaknya ibukota,
ada seorang siswi SMA, Nana namanya. Ia berdesakkan di dalam angkot menuju
sekolahnya. Nana Memiliki paras yang cantik, kulitnya kuning langsat, dan bulu
matanya yang lentik menjadi daya tarik tersendiri dirinya. Wajahnya polos tanpa
make up sedikitpun, hanya bedak bayi yang dipoles tipis di wajahnya. Setiap
pagi ia harus menaiki angkot ke sekolah karena jarak sekolah dan rumahnya cukup
jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki. Jika terlambat bangun sedikit saja, maka
ia dipastikan akan ketinggalan angkot dan tidak akan pergi sekolah alias bolos.
Oleh karena itu, ia seringkali bangun sangat pagi dan stand by menunggu angkot
lewat.
“ Berhentinya di depan
sekolah bang, biasa.” Ujar Nana dengan sopir angkot langganannya yaitu bang
Jali.
“Oke neng, udah hafal tiap
hari juga berhenti disini.” Jawab bang Jali dengan ramah.
Nana pun menyodorkan selembar
uang 2000an sebelum turun dari angkot. Nana memasuki sekolah dan menyapa satpam
yang berjaga di depan. Ia memang ramah dengan siapapun yang ia temui, tanpa
memandang pangkat ataupun jabatan seseorang.
“Pagi Pak Muklis.” Sapa Nana
dengan hangat.
“Pagi juga neng, semangat
belajarnya ya!” Jawab Pak Muklis dengan senyum khasnya.
SMA Merdeka adalah tempat
Nana menimba ilmu selama hampir 3 tahun belakangan. SMA ini tidak terlalu luas,
hanya terdapat 15 kelas dengan masing-masing 5 kelas setiap angkatan. Kelas
Nana berada di ujung deretan kelas yang ada, tepatnya di 12 IPS-B. Kelas ini
dikenal dengan kelas ‘buangann’ karena berisi siswa-siswi nakal yang susah
diatur dan sering membuat masalah. Padahal Nana tidak nakal dan tidak pernah
membuat masalah, namun ia tak tahu kenapa dimasukkan ke dalam kelas ini.
“Woy, Na!” Teriak seorang
siswi dengan badge bertuliskan Friska Agustin.
“Kenapa sih Fris pagi-pagi
udah teriak aja kek ada kebakaran.” Jawab Nana.
“Yaelah, lo kek baru kenal
gue aja sih. Eh tau gak? Untung hari ini gue hampir aja terlambat gara-gara
lipstik gue ilang. Masa semalem gue taroh di meja eh paginya gak ada, gue
curiga deh ada setan yang ngambil.”
“Apaan deh, itumah namanya lu
lupa naruh bukan diambil setan!”
Friska adalah sahabat Nana
sejak kelas awal masuk sekolah ini. Mereka berteman karena dihukum bareng
ketika acara ospek hari pertama. Sungguh permulaan yang buruk.
Mereka menjalani sekolah
seperti siswa-siswi pada umumnya, tidak aneh-aneh. Pelanggaran terberat yang
dilakukan paling Cuma terlambat.
Mereka berjalan masuk ke
dalam kelas, ternyata baru setengah dari jumlah siswa yang sudah berangkat,
salah satunya Riko. Riko adalah salah satu murid nakal di kelas ini. Hobinya
main cewek, mabuk-mabukan, dan bolos sekolah. Namun ia tetap dipertahankan di
sekolah ini karena ayahnya adalah donatur tetap sekolah ini.
Saat Friska ingin duduk,
tiba-tiba kursinya ditarik ke belakang sehingga ia jatuh, gubrakkk.
“Aduhhhh, Riko! Gak lucu ya
becandaan lo!” omel Friska.
“Hahahaha, makanya kalo mau
duduk liat-liat dulu, dicek kursinya ada apa enggak.” Tawa Riko mengejek
Friska.
Riko memang sangat senang
mengganggu orang lain, apalagi Friska. Ia suka kalo Friska ngomel di kelas,
karena baginya hiburan paling murah adalah mengganggu orang lain.
-----
Tidak terasa jam begitu cepat
berlalu, sekarang menunjukkan pukul 3 sore dan waktunya pulang sekolah. Nana
bergegas keluar kelas dan menunggu angkot di depan gerbang sekolahnya.
Kesehariannya tak jauh dari angkot saat berangkat maupun pulang sekolah.
Suasana jalan cucup ramai
namun tidak macet sehingga Nana dapat pulang sebelum gelap. Sesampainya di
rumah, Nana disambut oleh ibunya di depan rumah.
“Bagus, pulangnya gak telat.
Cepet siap-siap, malam ini malam minggu kamu harus tampil maksimal biar makin
banyak pelanggan yang dateng.” Ucap bu Lina.
“Bu, aku mau libur dulu boleh
gak? Lagi capek banget dari kemaren pelanggannya kasar-kasar.” Keluh Nana.
“Enak banget libur semau
sendiri. Gak ada! Kalo kamu mau hidup ya harus kerja, jangan males-malesan.”
Jawab bu Lina.
Tidak banyak tetangganya yang
tau, bu Lina adalah seorang mucikari dalam bisnis prostitusi. Ia biasa
dipanggil mamih Lina oleh anak-anak pekerjanya. Kebanyakan yang bekerja dengan
Lina adalah anak remaja SMA seusia Nana. Mereka terdesak keadaan ekonomi sehingga
terpaksa harus melakukan ini. Bahkan ironisnya, Nana yang merupakan anak
kandungnya juga bekerja sebagai wanita penghibur. Wajah polos dan perilaku
baiknya di sekolah adalah topeng ynag selama ini ia kenakan. Kehidupannya
banyak dihabiskan dalam dunia malam khususnya prostitusi.
Sebelum menjadi mucikari,
Lina adalah seorang wanita penghibur di masa mudanya. Ia melakukan semua ini
untuk bertahan hidup di tengah kerasnya ibukota. Dari banyaknya pelanggan yang
Lina layani, ada kecelakaan yang seharusnya tidak terjadi, yaitu keberadaan
Nana. Nana adalah anak hasil dari hubungan Lina dengan pelanggan-pelanggannya
yang entah siapa bapak kandungnya. Awalnya Lina frustasi dan ingin aborsi,
namun akhirnya ia menerima keadaan dan melahirkan Nana.
Semenjak umur 14 tahun, ia sudah diberikan kenyataan pahit oleh
ibunya. Lina tidak mau menutup-nutupi terlalu lama karena mau bagaimanapun Nana
harus tahu dan berdamai dengan keadaan. Di umur 15 tahun, Lina mulai memaksa
Nana untuk bekerja melayani para tamu. Awalnya Nana menolak keras, namun ibunya
akan melakukan kekerasan fisik jika ia melawan. Tubuhnya penuh luka membuatnya
trauma, akhirnya Nana melakukan dengan terpaksa apa yang diperintah ibunya. Bu
Lina banyak mendapat keuntungan karena anaknya, biasanya gadis muda diberi
harga mahal oleh para tamu dan menjadi barang yang paling dicari. Tak heran
jika Nana menjadi favorit di kalangan pria hidung belang.
Nana sudah muak dengan semua
ini, ia ingin berhenti dan menjalani hidup normal seperti anak seumurannya. Ia
juga punya mimpi untuk berkuliah agar bisa merubah nasibnya sekarang ini.
“Aku capek hidup kayak gini terus bu! Aku juga mau
hidup normal kayak anak-anak lain seumuranku, bukan jadi cewek penghibur kayak
gini!” ucap Nana.
“Lo itu anak haram! Jadi mau
gimanapun hidup lo bakalan gelap! Terima aja gak usah banyak protes. Layani
pelanggan dengan baik kalo lo mau bisa bertahan hidup!” bentak Lina kepada
anaknya.
Nana pun lari masuk ke dalam
kamarnya. Ia menangisi nasibnya yang tidak seberuntung anak-anak lain, mendapat
kasing sayang orang tua, menikmati masa muda, dan mengembangkan minat bakatnya.
Nana tidak bisa meratapi
nasibnya terlalu lama, ia harus tetap berangkat kerja malam ini, apalagi malam
minggu pasti banyak pelanggan datang. Malam ini Nana berpakaian lebih menggoda
dari biasanya, warna merah menjadi pilihannya. Sesampainya di tempat haram
biasa ia bekerja, Nana berkumpul dengan para wanita lain di ruangan.
“Wih makin menyala aja lo Na,
malam minggu full power keknya. Udah siap nglayani sampe pagi? Hahaha.” Ucap
Dinda, salah satu wanita penghibur di sana.
“Iya nih, si Nana kan emang
jadi anak emas, apalagi dia anaknya Mamih Lina, pasti jadi favoritlah.” Balas
wanita yang lain.
Tak berapa lama, ada
pengunjung datang ingin menggunakan jasa wanita disini, ia memesan pelayanan
terbaik yang bisa diberikan.
“Pokoknya kasih gue cewek
terbaik yang bisa Mamih sediakan, kalo memuaskan nanti gue kasih tips banyak,
termasuk buat mamih.” Ucap cowok tersebut.
“Tenang aja, pelayanan disini
semuanya memuaskan, tapi khusus malam ini kita kasih yang istimewa, sepertinya
cocok untuk kamu yang masih muda.” Balas mamih Lina.
Mamih Lina berjalan masuk ke
dalam ruangan pekerja wanita untuk memanggil seseorang. Sementara itu,
pelanggan tadi diarahkan menuju kamar VIP yang disediakan.
“Nana, kamu mendapat
pelanggan istimewa kali ini. Jangan kecewakan dia karena bayaran dan tipsnya
besar, pelanggan VIP.” Seru Lina kepada anaknya.
Nana pun dengan berat hati
menuruti keinginan ibunya. Setiap hari ia melakukan ini dengan terpaksa, namun
jika ia menolak atau mengecewakan pelanggan maka dipastikan esoknya tubuhnya
akan penuh luka.
Nana mulai masuk ke dalam
ruangan VIP menemui pelanggan yang katanya istimewa. Terlihat cowok tersebut
sedang tiduran dengan menghadap ke arah berlawanan dari Nana. Nana mendekatinya
perlahan dan memanggilnya.
“Hai” Sapa Nana.
Cowok itupun berbalik badan
menghadap Nana. 1 detik, 3 detik, 5 detik, mereka saling tatap tidak percaya.
“Nana!”
“Riko!”
“Lu ngapain ada disini?
Jangan bilang... lo pelacur yang gue pesen?!” Ucap Riko setengah tidak percaya.
“Harusnya gue yang nanya,
ngapain lo ada disini?” balas Nana.
Riko mengabsen tubuh Nana
dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia menganga tidak percaya bahwa Nana yang
selama ini ia kenal di sekolah sebagai cewek biasa yang polos, ternyata menjadi
wanita penghibur di tempat seperti ini.
“Gila! Gak nyangka gue
ternyata lo bersembunyi di balik kepolosan lo selama ini. Gak habis pikir gue
na. Kalo anak-anak sekolah tahu pasti bakal viral sih hahaha. Atau mau gue
bantu promosiin biar pelanggan lo banyak dan uang lo makin banyak juga?” ucap Riko
dengan Nada merendahkan.
“Gak usah macem-macem ya lo!
Gak usah bilang siapapun, apalagi
anak-anak di sekolah!” ancam Nana.
Riko mulai mengeluarkan
ponselnya dan merekam apa yang ada di depannya. Nana dengan busana yang sangat
minim dan serta dandanan yang sangat menggoda.
“Nih lihat guys, salah satu
murid di sekolah kita ternyata pelacur! Kalo kalian pingin nyobain langsung aja
kesini, murah kok lagi promo hahaha.”
“Ih apaan sih ko! Gak usah
rekam-rekam lo!” Nana berusaha merebut HP Riko, namun Riko lebih gesit untuk
menghindar. Mereka berdua kejar-kejaran di dalam ruangan VIP tersebut hingga
akhirnya Riko berlari keluar dari tempat itu.
Nana takut setengah mati jika
video itu sampai tersebar, identitas yang selama ini ia rahasiakan terancam
terbongkar gara-gara ulah Riko yang tidak sengaja menjadi calon pelanggannya.
Nana menangis, ketakutan, semua bayang-bayang kehancuran hidupnya muncul di
kepalanya.
sebelum kejadian itu, padahal
Nana sudah berencana untuk berhenti dari pekerjaan kotor ini, namun hari sial
tidak ada di kalender. Luka yang ingin Nana sembuhkan justru sekarang menjadi
semakin dalam dan berpotensi permanen jika Riko sampai menyebarkannya.
‘’
Dua hari setelahnya, tepatnya
di hari senin Nana berangkat sekolah dengan lesu, semangatnya padam karena ia
diselimuti rasa takut. Takut Riko akan menyebarkan semua identitas dirinya.
Nana berjalan ke dalam kelas,
kemudian ia tertegun. Papan tulis penuh dengan tulisan cacian, hinaan, makian,
dan sindiran yang sudah pasti ditujukan kepada dirinya. ‘ Pelacur tidak pantas
sekolah disini.’ ‘Kukira cupu ternyata suhu.’ ‘Ubur-ubur ikan lele, awas di
kelas ada l*nteee.’ dan kata-kata kasar lainnya.
Tak berhenti disitu, meja
tempat duduknya juga dipenuhi sampah. Bungkus makanan, minuman, hingga kertas
sobekan yang berisikan hinaan juga tercerai berai di sana.
“Selamat pagi Nana. Btw
semalam udah ngelayanin berapa om-om nih? hahaha.” Riko mulai berbicara.
“Hari ini keknya lesu banget
sih, semalem capek banget ya pasti.” Imbuh temannya yang lain
“Gue kira cewek kalem alim,
ternyata jadi pemuas nafsu 0m-om hahaha.”
“kukira cupu ternyata suhu.”
“Btw sejamnya berapa Na? gue
juga pengen dong. Hahaha.”
Hampir semua orang di kelas
itu mencaci dan menghinanya. Kalimat yang mereka layangkan sangat tidak
manusiawi. Malu, sedih, kecewa dan menyesal bercampur menjadi satu di dalam
hatinya. Ia terduduk lesu, kepalanya ia benamkan ke dalam silangan tangannya di
atas meja. Nana menangis, depresi.
Rasanya ia ingin menghilang
dari dunia ini. Ia tak sanggup menatap muka teman-teman sekelasnya. Padahal ia
berencana untuk berhenti, namun hari itu adalah hari tersialnya karena ketahuan
Riko. Perjalanannya menuju masa depan yang lebih baik seperti sirna begitu
saja. Luka yang selama ini ingin ia sembuhkan malah menjadi semakin besar,
bahkan permanen.
Berhari-hari ia berangkat
sekolah disertai dengan cacian dan hinaan dari teman-temannya. Bukan secara
fisik memang, namun kata-kata yang terlontar lebih menyakitkan dari kontak
fisik. Lidah lebih tajam daripada pisau.
Nana tak sanggup menahan ini
semua, ia frustasi.
Hari keempat setelah kejadian
itu, Nana tidak berangkat sekolah. Teman-temannya masih saja menghinanya
walaupun ia tidak berangkat sekolah sekalipun. Pagi itu mamih Lina baru pulang
dari pasar setelah berbelanja. Ia masuk rumah dengan membawa barang belanjaan
dapur dan buah-buahan kesukaan Nana. ketika ia ingin memberikan buah kepada
Nana di kamarnya, betapa terkejutnya ia melihat tubuh Nana melayang di atas
dengan seutas tali melilit di lehernya. Nana bunuh diri.
Mamih Lina terkejut dan
berteriak melihat kejadian tak terduga ini. Ia menemukan secarik kertas di
bawah tubuh Nana yang masih menggelantung. Kertas itu berisi
‘Selamat tinggal dunia
gelapku. Maaf aku tidak bisa bertahan lebih lama.’
0 Komentar