Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

Menghidupkan Cahaya Kenabian di Tanah Jawa: Relevansi Perayaan Maulid Nabi dalam Masyarakat Modern

Nahna Naisila Az Zahra

Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Email: nahnanaisila@gmail.com

 

Abstract

This paper explores the relevance of the Prophet Muhammad’s birthday celebration (Maulid Nabi) in contemporary society, focusing on local practices in Pecangaan, Jepara, Central Java. More than a religious ritual, the Maulid serves as a cultural vehicle for preserving noble values such as moral exemplarity, social solidarity, and justice. Through historical perspectives, the values of Pancasila, and theories of citizenship and social capital, the study highlights the Maulid's role in shaping citizens who are spiritually grounded, tolerant, and socially responsible. In the digital age, preserving this tradition requires creative adaptation so that prophetic messages remain alive and relevant to younger generations. By integrating local wisdom with the demands of modern life, the Maulid celebration can serve as a transformative spiritual and social medium within Indonesian society.

Keywords:
Maulid of the Prophet, local culture, Pancasila, citizenship, social capital, digitalization of tradition, tolerance, Islamic spirituality

Abstrak

Tulisan ini mengkaji relevansi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dalam konteks masyarakat kontemporer, dengan fokus pada praktik lokal di Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah. Lebih dari sekadar ritual keagamaan, Maulid berfungsi sebagai medium budaya untuk melestarikan dan meneruskan nilai-nilai luhur seperti integritas moral, solidaritas sosial, dan keadilan. Melalui pendekatan historis, serta dengan mengacu pada nilai-nilai Pancasila dan teori kewarganegaraan serta modal sosial, studi ini menunjukkan bagaimana Maulid dapat membentuk warga negara yang memiliki landasan spiritual, toleran, dan bertanggung jawab secara sosial. Di era digital, pelestarian tradisi ini memerlukan adaptasi kreatif agar pesan-pesan kenabian tetap relevan bagi generasi muda. Dengan mengharmoniskan kearifan lokal dan tuntutan kehidupan modern, perayaan Maulid dapat berkembang menjadi wadah transformasi spiritual dan sosial dalam masyarakat Indonesia.

Kata Kunci:

Maulid Nabi, budaya lokal, Pancasila, kewarganegaraan, modal sosial, digitalisasi tradisi, toleransi, spiritualitas Islam

Sejarah dan Tradisi Maulid di Indonesia

Di tengah dunia yang semakin digerus oleh arus globalisasi dan kehilangan arah spiritual, gemuruh shalawat dan lantunan kisah kelahiran seorang insan agung, Nabi Muhammad SAW, senantiasa mewarnai bulan Rabiul Awal di berbagai penjuru dunia Islam, tak terkecuali di Indonesia, negeri dengan populasi muslim terbesar. Di tengah kehangatan tradisi lokal yang kaya, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW menjelma menjadi sebuah momentum yang sarat makna, bukan hanya sebagai ekspresi kegembiraan atas kelahiran sang utusan terakhir, tetapi juga sebagai pengingat akan nilai-nilai universal yang beliau bawa.  

Maulid Nabi adalah peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kata "Maulid" sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti "kelahiran". Bagi umat Islam di seluruh dunia, Maulid Nabi merupakan momen penting untuk mengenang, merayakan, dan meneladani kehidupan serta ajaran Rasulullah SAW. Peringatan ini biasanya dirayakan pada tanggal 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriyah (Romadhon, PAK 2024). Di Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah, semarak Maulid Nabi mungkin memiliki kekhasan tersendiri, terjalin dengan nuansa budaya dan tradisi setempat, namun esensi dan urgensinya tetaplah relevan dalam menjawab tantangan kehidupan modern.

Makna dan Tujuan Peringatan Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi memiliki makna dan tujuan yang mendalam bagi umat Islam, di antaranya:

1.     - Mengenang dan meneladani kelahiran Nabi Muhammad SAW: Maulid menjadi momentum untuk mengingat kembali kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah yang membawa ajaran Islam.

2.     - Menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah SAW: Perayaan ini adalah wujud cinta dan penghormatan umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW.

3.     - Mempererat tali persaudaraan: Perayaan Maulid seringkali menjadi ajang silaturahmi dan mempererat persatuan umat Islam.

4.     - Meningkatkan keimanan dan ketakwaan: Melalui kegiatan-kegiatan Maulid, umat Islam diharapkan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dengan meneladani akhlak mulia Rasulullah.

5.     - Memperkenalkan Nabi Muhammad SAW kepada generasi penerus: Peringatan ini menjadi sarana untuk mengenalkan sosok dan ajaran Nabi Muhammad SAW kepada generasi muda.

Maulid di Pecangaan: Harmoni Islam dan Budaya Lokal

Secara historis, perayaan Maulid Nabi diyakini mulai berkembang beberapa abad setelah wafatnya Rasulullah SAW. Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai awal mula dan bentuknya, tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk mengenang, meneladani, dan memperbaharui kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW (Madjid, N. 1992).. Di Indonesia, tradisi Maulid Nabi berakulturasi dengan budaya lokal, melahirkan beragam ekspresi unik seperti muludan di Jawa dengan berbagai ritual seperti sekaten, pembacaan barzanji atau diba'iyah, hingga berbagai kegiatan sosial dan keagamaan lainnya (Santoso,2024). Di Pecangaan, kita mungkin menyaksikan tradisi serupa yang diwarnai dengan kekhasan lokal, seperti jenis makanan yang disajikan, bentuk arak-arakan, atau kekhasan seni pertunjukan yang ditampilkan. Meskipun variasinya dapat berbeda-beda, perayaan Maulid di Pecangaan kemungkinan besar turut menampilkan tradisi khas masyarakat pesisir Jawa Tengah. Namun, secara umum, perayaan ini melibatkan partisipasi aktif masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang tua, dalam semangat kebersamaan dan kegembiraan. Nilai-nilai seperti kecintaan kepada Nabi, kebersamaan, kedermawanan (melalui berbagi makanan), dan penguatan tali silaturahmi menjadi ruh dari perayaan (Orami. 2023).

Relevansi Maulid dalam Konteks Pancasila

Di era modern yang ditandai dengan arus globalisasi, individualisme, dan materialisme, pelestarian tradisi Maulid Nabi memiliki urgensi yang mendalam, terutama jika kita telaah melalui lensa nilai-nilai Pancasila dan teori kewarganegaraan (Soekarno.1963).. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tercermin dalam esensi perayaan Maulid sebagai bentuk syukur dan pengagungan terhadap utusan Allah SWT. Mengenang kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah bagian dari penguatan keimanan dan ketakwaan umat Islam. Lebih lanjut, Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menemukan resonansinya dalam keteladanan akhlak mulia Nabi Muhammad SAW. Perayaan Maulid menjadi momentum untuk merefleksikan dan menginternalisasi nilai-nilai kejujuran, kasih sayang, keadilan, dan toleransi yang beliau ajarkan. Melalui kisah hidup dan sunnahnya, umat Islam diingatkan akan pentingnya menjunjung tinggi martabat manusia dan berinteraksi secara beradab.

Sila Persatuan Indonesia terwujud dalam semangat kebersamaan dan gotong royong yang menyelimuti perayaan Maulid. Persiapan acara, pelaksanaan ritual, hingga berbagi makanan menciptakan ikatan sosial yang kuat antar warga masyarakat. Tradisi ini menjadi perekat sosial yang memperkokoh rasa persaudaraan dan persatuan dalam keberagaman. Sementara itu, Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dapat diinternalisasi melalui nilai kepemimpinan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu kepemimpinan yang adil, bijaksana, dan mengedepankan musyawarah. Perayaan Maulid dapat menjadi sarana edukasi bagi generasi muda tentang pentingnya kepemimpinan yang berintegritas. Terakhir, Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tercermin dalam ajaran Nabi Muhammad SAW tentang pentingnya memperhatikan kaum lemah dan miskin. Tradisi berbagi makanan dan kegiatan sosial yang seringkali menjadi bagian dari perayaan Maulid adalah manifestasi dari nilai keadilan sosial ini(Uninus,2022).

Teori Kewarganegaraan dan Modal Sosial

Dari perspektif teori kewarganegaraan, perayaan Maulid Nabi berkontribusi signifikan dalam pembentukan identitas dan karakter warga negara yang berakhlak mulia dan memiliki kesadaran sosial. Melalui kisah hidup Nabi, generasi muda diajarkan tentang nilai-nilai kepemimpinan, toleransi, dan tanggung jawab sosial. Partisipasi dalam perayaan ini juga menumbuhkan rasa memiliki terhadap komunitas dan tradisi lokal, yang pada gilirannya memperkuat modal sosial. Menurut Robert Putnam dalam karyanya Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (2000), modal sosial yang kuat, yang ditandai dengan kepercayaan, jaringan sosial, dan norma-norma timbal balik, merupakan fondasi bagi masyarakat yang sehat dan demokratis(Putnam,2000). Perayaan Maulid, dengan melibatkan interaksi sosial dan penguatan nilai-nilai bersama, berperan dalam membangun dan memelihara modal sosial di tingkat komunitas.

Adaptasi Tradisi Maulid di Era Digital

Mengenai keberlanjutan tradisi Maulid Nabi di era modern, opini saya adalah bahwa tradisi ini perlu dilestarikan dan bahkan diadaptasi agar tetap relevan bagi generasi mendatang. Meninggalkan tradisi yang kaya akan nilai dan sejarah akan menjadi kehilangan yang besar bagi identitas budaya dan spiritual masyarakat(Tim NN,2017). Namun, pelestarian tidak berarti mempertahankan segala bentuk tradisi secara kaku tanpa mempertimbangkan konteks zaman. Adaptasi diperlukan agar pesan-pesan universal yang terkandung dalam Maulid Nabi dapat dipahami dan diamalkan oleh generasi muda yang tumbuh dalam lingkungan yang berbeda.

Adaptasi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Misalnya, pemanfaatan teknologi dan media sosial untuk menyebarkan kisah dan nilai-nilai Maulid Nabi secara lebih luas dan menarik bagi generasi muda(Detikcom,2022). Kegiatan-kegiatan Maulid juga dapat diintegrasikan dengan isu-isu kontemporer seperti kepedulian terhadap lingkungan, toleransi antar umat beragama, atau pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, Maulid Nabi tidak hanya menjadi perayaan seremonial, tetapi juga momentum untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kenabian dalam konteks kehidupan modern.

Sebagai contoh, di tengah maraknya isu intoleransi, perayaan Maulid dapat menjadi platform untuk memperkuat dialog antar umat beragama dan meneladani sikap toleran Nabi Muhammad SAW terhadap perbedaan. Di era digital, kisah-kisah inspiratif dari kehidupan Nabi dapat disebarkan melalui platform media sosial dalam format yang menarik dan mudah diakses oleh kaum muda (Quraish Shihab, M, 1996).. Kegiatan sosial yang menjadi bagian dari Maulid juga dapat diarahkan untuk mengatasi permasalahan konkret di masyarakat, seperti membantu kaum dhuafa atau melestarikan lingkungan.

Kesimpulan: Menjaga Api Spiritualitas

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Pecangaan, Jawa Tengah, dan di seluruh Indonesia, bukan sekadar tradisi keagamaan, melainkan juga cerminan kekayaan budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Di era modern yang penuh tantangan, pelestarian dan adaptasi tradisi ini memiliki urgensi yang mendalam dalam memperkuat nilai-nilai Pancasila dan membangun warga negara yang berkarakter mulia (Wahid, A. 2007).. Dengan menghidupkan kembali cahaya kenabian dalam konteks kekinian, Maulid Nabi dapat terus menjadi sumber inspirasi dan pedoman bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan yang bermakna dan berkontribusi positif bagi bangsa dan negara. Melalui pemahaman yang mendalam dan pengamalan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, tradisi Maulid Nabi akan terus relevan dan memberikan kontribusi bagi kemajuan peradaban (Tilaar, H. A. R. 2004).

 

Daftar Pustaka

Madjid, N. (1992). Islam, doktrin dan peradaban: Sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemodernan. Jakarta: Paramadina.

M Yunus. (2019). HUMANISTIKA: Jurnal Keislaman. Diakses dari https://ejournal.unzah.ac.id

NasDem Jateng. (2022). Yaa Qowiyyu di Klaten, Tradisi Sebar Apem Simbol Tolak Bala dan Rezeki. Diakses dari https://jateng.nasdem.id/capaian-pemilu/ pada 5 Mei 2025.

Orami. (2023). Grebeg Maulud: Sejarah, Makna, dan Rangkaian Acaranya.

Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of American community. New York: Simon & Schuster.

Quraish Shihab, M. (1996). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir maudhu’i atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan.

Soekarno. (1963). Di bawah bendera revolusi. Jakarta: Panitia Penerbit DBR.

Suriadi, A. (2019). Khazanah: Jurnal Studi Islam Dan Humaniora. Diakses dari https://jurnal.uin-antasari.ac.id

Tilaar, H. A. R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan global masa depan dalam transformasi pendidikan nasional. Jakarta: Grasindo.

Wahid, A. (2007). Islam kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan transformasi kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute.

 

Posting Komentar

0 Komentar