![]() |
What Can You Do to Promote Gender Equality? (Ilustrasi/ google.com) |
Oleh:
Rismanto Wijaya MS*
Studi Gender memang sangat
gencar-gencarnya pada perkembangan saat ini, bukan tanpa sebab karena memang
faktor utamanya adalah masalah penyalahan hak-hak yang mengenai gender itu
sendiri. Perjuangan gender sendiri-pun juga tidak pernah padam dari masa ke masa.
Kita pasti tidak asing dengan R.A Kartini yang kita kenal sebagai momentum awal
dalam perjuangan hak perempuan, dengan bentuk perlawanannya dalam memerangi
adat Jawa yang mengekang kebebasan hak perempuan pada zaman itu dengan jalan
literasi dan mengubah tatanan adat keluarganya. Perjuangan Kartini tidak serta
merta selesai hanya di ranah zaman tersebut, tetapi juga sampai saat ini yang
bahkan lebih keras dan kejam dibandingkan perjuangan kartini pada masanya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa
kasus-kasus yang berkenaan perempuan sangat menjamur dimana-mana. Terakhir kali
kasus yang mengenai perempuan yang terekspos media adalah tentang kasus
pelecehan seksual yang dialami Agni di kampus Universitas Gadjah Mada tahun
yang lalu. Sebenarnya masih banyak kasus-kasus yang belum terungkap dan perlu
analisis secara lebih untuk memudahkan pengusutan kasus tersebut. Mengetahui
pentingnya hal tersebut, maka itu yang melatar belakangi akan diselenggarakan
sekolah gender dan advokasi yang di laksanakan oleh pihak PMII Rayon Abdurrahman
Wahid yang dilaksanakan pada tanggal 11-14 Januari 2019 di Kampung
Brintik/Kampung Pelangi Kota Semarang. Dari tema “Implementasi Perspektif
Gender Sebagai Arah Bergerak Menuju Kesadaran Dan Perubahan” yang diusung
dari acara ini bermakna universal dalam penafsirannya untuk menjadikan pribadi
utamanya kader PMII yang kritis dalam berbagai aspek utamanya masalah gender.
Banyak sekali diskusi yang ada
dalam sekolah ini, di mana diskusi pertama yang disampaikan oleh mbak Ninda
Novalia. Diskusi ini di mulai dengan pengantar studi gender dimana materi ini
menekankan pada karakteristik, bias, dan budaya patriarki pada gender. Dalam
diskusi ini juga dibahas tentang bentuk-bentuk penyimpangan gender yaitu sub
ordinat (penomorduaan), stereotype (pelabelan), marjinalisasi
(peminggiran), peran ganda, violence (kekerasan), dan diskriminasi.
Mengenai masalah budaya patriarki sendiri memang tidak bisa lepas dari budaya
di Indonesia dikarenakan memang budaya di Indonesia sendiri yang bersinggungan
dengan legitimasi ayat Al-qur’an yang mana permasalahan ini makin rumit. Di sini
juga disinggung tentang pembahasan seksulialitas di mana menyangkut akan
identitas seksual, makna seksualitas itu sendiri, orientasi seksual, dam
perilaku seksual.
Pada pemateri kedua disampaikan
oleh Ulfiyatul Lathifah yang membahas tentang sejarah feminis dan alirannya
yang walaupun hanya mengupas tentang sejarahnya saja karena keterbatasan waktu.
Inti diskusi ini membahas tentang sejarah herakan perempuan mulai dari periode
tahun 1800 sampai sekarang. Fase-fase itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian
yaitu fase tahun 1800 sampai tahun 1920, fase tahun 1920 sampai tahun 1960, dan
fase tahun 1960 sampai sekarang. Pada periode pertama yaitu pada tahun 1800
sampai 1920, gerakan perempuan dimulai pada perjuangan buruh di New York dimana
pada waktu itu gelombang industrialisasit dan ekspansi ekonomi mulai
gencar-gencarnya dilakukan. Pada waktu fase pertama tersebut, kaum perempuan
menuntut akan kesamaan upah, menolak budaya patriarkal, dan menuntut kesetaraan
perempuan yang dimana pada saat itu kedudukannya sama dengan kaum ras hitam.
Gerakan ini didukung oleh presiden Amerika pada saat itu yaitu W. Wilson. Pada
fase pertama tersebut, perempuan juga mulai sadar akan hak perempuan dan membentuk
organisasi walaupun tidak besar. Pada fase pertaman juga mulai diadakannya
perumusan tentang hari HAM Internasional.
Kemudia pada fase kedua yaitu
pada tahun 1920, gerakan perempuan mulai merambah ke berbagai bidang yaitu pada
penolakan poligami dan menuntutnya hak pendidikan. Pembahasan tentang feminisme
sudah universal dan berkembangnya aliran-aliran feminisme dan gerakan
emansipasi wanita sudah masuk dalam ranah akademisi. Yang dituntut pada periode
ini adalah tentang hak upah dan hak hukum juga mulai diadakannya demonstrasi
politik serta mulai dibentuk pengorganisasian. Kelemahan pada fase ini mulai
adanya pemasalahan yang bersinggungan dengan agama, dipertanyakannya masalah
feminisme dimana siapa yang ditindas maupun yang menindas, dan pada tahun 1970
sudah mulai meredup. Yang paling di garis bawahi pada fase ini adalah tentang
tercetusnya Hari Ibu pada tanggal 22 Desember 1928 yang sebelumnya dilakukan
kongres perempuan terlebih dahulu.
Lalu selanjutnya pada periode
ketiga yaitu pada tahun 1960 sampai sekarang, transisi orde baru yang mewarnai
perjuangan para perempuan. Pada fase kedua ini sudah ada organisasi PKK dan
Dharma Wanita dan organisasi-organisasi keperempuanan lainnya. Pada fase ini
juga CEDAW Lower yang diusung pada Kovenan Ekosob sudah disahkan. Pada zaman
ini juga perempuan pada masa orde baru dijadikan alat politik juga timbulnya
konflik dengan pemerintahan seperti kasus Marsinah. Yang paling digaris bawahi
juga pada fase ketiga ini, tahun 1970 gerakan feminisme rasa-rasanya sudah
melemah dikarenakan adanua penghancuran gerakan perempuan Gerwani yang
beraliran komunisme, juga kembali digaungkannya khotbah pastor yang mengarah
pada patriarkal. Karena rasa-rasanya perempuan sudah mendapatkan haknya,
gerakan perempuan sudah mulai dikaburkan dan sekarang lebih mengarah pada
parlemen dan pemerintahan.
Pada diskusi materi ketiga
tentang pembahasan sejarah gerakan dan penghancuran wanita yang di pantik olejh
Mbak Izza Huffa. Sejarah gerakan perempuan sendiri dimulai pada masa pra kemerdekaan
yaitu pada masa abad ke-19 untuk membantu kemerdekaan seperti Cut Nyak Dien dan
Cut Meutia, gerakannnya sendiri bersifat lokalistik. Pada abad ke-20 sendiri
gerakan perempuan mengatasnamakan sayap-sayap pergerakan. Contohnya gerakan
Aisyiyah yang berlatar belakang Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 yang
walaupun sasarannya sendiri belum mencapai kearah kaum marjinal. Gerakan ini
menentang tentang adanya poligami, trafficking, dan lebih membela kepada
kelompok sendiri. Kemudian pada pembetukan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia)
yang menjadi topik pembahasan diskusi ini. Pada diskusi ini juga membahas
tentang Kongres Perempuan yang di awali pada tahun 1921 di Yogyakarta dengan
hasil PPI menjadi PPII dan pada kongres ini sendiri terjadi pergolakan antar
anggota seperti pembahasan poligami dan pergolakan antara organisasi yang
bersifat nasionalis atau lebih ke agamis. Lalu berlanjut pada kongres perempuan
kedua pada tahun 1935 di Jakarta, Kongres perempuan ketiga pada tahun 1938 di
Bandung dan kongres perempuan keempat pada tahun 1941 di Semarang. Dari hasil
kongres tersebut, dilakukan pencetusan nama organiosasi keranah perempuan yang
lebih intens yang contohnya pada kasus pernikahan dini. Perumusan kongres
perempuan Indonesia sendiri lahir di kongres perempuan kedua.
Gerakan penghancuran wanita
bertitik tumpu pada penghancuran Gerwani pada tahun 1960 dimana pemerintah
menduga bahwa gerwani berafiliasi dengan PKI walaupun dibantah melakukan
hubungan langsung oleh mereka sendiri. Gerwani sendiri merupakan organisasi
independen dan organisasi perempuan terbesar pada saat itu yang berjumlah
anggota sebesar 1.700.000 anggota perempuan sebelum dibantai habis-habisan oleh
pemerintahan orde baru. Peran organisasi gerwani ini sendiri yaitu dengan mengadakannya
koperasi perempuan, pendampingan perempuan, melakukan advokasi seperti pada
penyetaraan upah, penghapusan buta aksara, dan penuntutan emansipasi pada zaman
Presiden Soekarno. Organisasi ini dihancurkan pada saat pengalihan pemerintahan
Soekarno ke Soeharto, mulai diberangus secara halus dan kemudian dipadamkan,
organisasi Aisyiyah dan lain sebagainya yang sebatas seremonial dimunculkan dan
melukan kegiatan dengan pemerintahan yang diberatkan dengan tak boleh membahas
tentang isu-isu politik. Pada tahun 1965 diberanguskan dengan mengambil isu
berita dari pers Baratayudha dengan mempropagandakan hoaks yang membunuh 7
perwira dengan keji yang dibantu oleh Gerwani. Sehingga Gerwani dibumihanguskan
pada rentang waktu tahun 1965 sampai tahun 1968 dengan ditangkap, diperkosa,
dan dianiaya.
Pada diskusi materi keempat
membahas tentang ekofeminisme yang dibahas oleh Mas Husni. Ekofeminisme sendiri
adalah sudut pandang perempuan akan masalah lingkungan disekitar kita. Adanya
faham ekofiminisme sendiri adalah tentang konservasi alam sekitar serta
keberlangsungan hiduo serta perwujudannya kedalam perdamaian dan keutuhan
makhluk hidup dan lingkungan menurut sudut pandang perempuan dikarenakan
sensitifitas lingkungan lebih sensitif perempuan dibandingkan laki-laki. Dominasi
dalam perlakuan lingkungan sendiri dan alam oleh perempuan juga berhubungan
dengan budaya patriarki. Perempuan dan alam sangat dekat hingga bumi kita ini
dianggap sebagai perempuan serta kerusakan-kerusakan alam sendiri berhubungan
dengan gender. Walaupum timbul persoalan juga dimana paradigma lingkungan
sendiri bukan berfokus pada perempuan saja tapi semua orang. Yang paling
menarik di sini adalah bahwa cara pandang patriarki itu sendiri bersifat
patriarki dan penindasan perempuan dan alam saling berkaitan. Memang diskusi
ini perlu diskusi lanjut untuk memahamkan komponen satu dengan yang lainnya.
Pada diskusi kelima yang dipantik
oleh mbak Umi Hanik membahas tentang instrumen HAM. HAM atau hak asasi manusia
sendiri memang sangatlah berhubungan sekali dengan sumber permasalahan utamanya
masalah perempuan. HAM sendiri adalah hak yang melekat sejak lahir yang
mengatur kebebasan yang tidak boleh hilang dan mengacu oada hak hidup dan
martabat manusia. Intruamen HAM sendiri berhubungan dengan pemerintah yaitu
pada tujuannya adalah to protect, to fulfill, dan to respect. Intrumen
HAM sendiri terdiri dari dua bagian besar yang disebut Kovenan yaitu Kovenan
Sipol (Sipil dan Politik) dan Kovenan Ekosob (Ekonomi dan Sosial Budaya). Untuk
hak keperempuanan atau CEDAW sendiri yang berfokus pada diksriminasi atas
perempuan masuk kedalam Kovenan Sipol. Untuk Kovenan Sipol sendiri dirancang
pada tahun 1951 yang disahkan pada tanggal 16 Desember 1966 yang mulai berlaku
pada tanggal 23 Maret 1976 untuk Indonesia sendiri meratifikasi pada tanggal 28
Oktober 2005. Untuk Kovenan Ekosob sendiri ada dalam UU No.11 tahun 2005 yang
ditetapkan sama seperti pada penetapan Kovenan Sipol. Untuk yang berfokus pada
Kovenan CEDAW sendiri kovenan ini ditetapkan pada tahun 1979 pada musyawarah
umum PBB dan ditanda tangani di New York pada tanggal 18 Desember 1979 dan
mulai aktif pada tanggal 3 September 1981 dengan diratifikasi oleh 20 negara.
Untuk penerapan Kovenan CEDAW sendiri menganut pada UU No. 7 tahun 1984 tentang
ratifikasi kovenan dan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan, UUD 1945, KUHP, UU No.1 tahun 1974 dan Komnas anti kekerasan
terhadap perempuan. Prinsip Kovenan CEDAW sendiri adalah non diskriminasi, asas
persamaan, dan perempuan menjadi tanggung jawab negara.
Pada diskusi keenam yaitu tentang
studi pendampingan yang dipantik oleh tim Lentera Asa dimana studi pendampingan
sendiri adalah tentang usaha-usaha kita dalam mengawal kaum-kaum tertindas dan
kaum-kaum termarjinalkan. Pada diskusi ini berfokus pada studi kasus HIV dan
lokalisasi Sunan Kuning. HIV di kota Semarang sendiri adalah nomor satu di
daerah Jawa Tengah dan hampir 1.200 orang terjangkit HIV dan pelaku prostitusi
di Sunan Kuning juga telah banyak terjangkit HIV. Namun sayangnya pihak Dinas Sosial
tidak lagi menghiraukan lagi masalah tentang kasus di Sunan Kuning. Advokasi
terhadap kasus prostitusi tidak lagi dihiraukan dan hanya segelintir orang yang
mengawalnya.
Untuk diskusi terakhir adalah
Analisis Sosial yang di sampaikan oleh Mas Kemang dimana analisis sosial lebih
kearah teoritisnya. Langkah-langkah analisis sosial itu sendiri adalah; data
dan informasi harus melaluo observasi/wawancara, melalui media massa, dan
pendampingan; identifikasi masalah dimana kita harus mengkaji dimesi dan profil
situasi serta membangun persepsi atau pandangan;melakukan rumusan/simpulan.
Prinsip analisis sosial sendiri adalah sistematis, transformasi, dan diterima
nalar/logis. Metode analisis sosial juga tergantung dari komponen analisis
SWOT.
Untuk output yang diberikan dari
kegiatan ini, di penghujung acara pihak acara SGA melakukan investigasi secara
langsung terhadap warga kampung Brintik dan objek yang diambil adalah perempuan
dan anak-anak. Untuk objek perempuan sendiri lebih mengacu kepada analisis
patriarki di rumah tangga sedangkan untuk anak-anak lebih ke sharing antara
peserta dan objek investigasi.
Rencana tindak lanjut dari acara
ini adalah dengan memberikan pendampingan dibidang pendidikan kepada anak-anak
kampung Brintik yang notabenenya adalah anak-anak jalanan yang khususnya goals
dari pendampingan ini selain dari analisis teori yang menjurus terhadap nilai
rekontruksi studi gender dan peka akan masalah akan tersebut, tetapi juga
membantu akan keberlangsungan anak-anak mereka agar bisa menjadikan generasi
muda di Kampung Brintik bisa lebih baik lagi kedepannya. []
*) Catatan materi Sekolah Gender
dan Advokasi Rayon Abdurrahman Wahid oleh Ketua Almapaba Korp Galaksi PMII
Rayon Sains dan Teknologi
0 Komentar