![]() |
Ilustrasi/ Google.com |
Oleh:
Lianita Anggraini Putri[1]
Adalah
mungkin agar ilmu pengetahuan bisa bermanfaat dalam hidup. Dan di tempat dimana
filsafat spekulatif diajarkan di sekolah-sekolah, kita punya filsafat praktis melalui,
antara lain, mengetahui kekuatan perilaku api, air, udara, bintang-bintang,
langit dan semua benda yang ada di sekeliling kita seperti yang kita saksikan.
Dan berbagai macam alat-alat kerajinan tangan, yang mungkin kita pakai untuk
segala tujuan, dengan sendirinya menyebabkan kita sebagai guru dan professor
alam.
(Descartes,
dalam Rossi, hlm. 104)
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Sains dan
Teknologi (Saintek) Komisariat UIN Walisongo Semarang dalam sejarahnya merupakan hasil pemekaran
dari PMII Rayon Aabdurrahman Wahid. Pada tahun 2019 ini, PMII Saintek akan
memasuki usia empat tahun. Di mana pada usia ini seharusnya PMII Saintek sudah
mulai menentukan arah gerakannya. Pasalnya, selama tiga tahun kepengurusan,
PMII Saintek masih terjerembab dengan pola kaderisasi PMII Abdurrahman Wahid.
Tidak hanya pola kaderisasi, wacana dan gerakannya pun masih serupa dengan PMII
Abdurrahman Wahid. Ambiguitas arah gerakan ini memang dialami oleh banyak Rayon
maupun Komisariat yang notabene bergerak di ranah eksakta.
Kegalauan ini juga disampaikan oleh Ketua PMII Komisariat
Kentingan Universitas Sebelas Maret (UNS)[2]
pada www.nu.or.id tahun 2018. Joko Priyono yang juga seorang mahasiswa
jurusan Fisika ini mengemukakan bahwa ambiguitas formula kaderisasi di ranah
eksakta merupakan titik kelemahan PMII yang hingga kini belum menemukan jawaban
konkret untuk mengatasinya. Padahal, seperti yang diketahui bahwasanya
tingkatan fakultas atau dalam hal ini berupa Rayon merupakan ujung tombak
kaderisasi PMII sebab pada tahapan ini anggota maupun kader PMII akan digiring
untuk memperkuat ideologisasi juga memiliki kapasitas yang mumpuni agar dapat
melanjutkan roda organisasi sehingga dapat tercapainya cita-cita luhur PMII
yang tertuang pada AD/ART Bab IV Pasal 4, yakni “Terbentuknya pribadi muslim
Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan
bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmunya serta komitmen memperjuangkan
cita-cita kemerdekaan Indonesia”
Ada beberapa hal yang bisa dirumuskan untuk menjadi strategi
kaderisasi PMII di ranah eksakta, terutama PMII Rayon Saintek. Mengaca dari
kepengurusan Rayon sebelumnya yang selalu mengubah pola kaderisasi sehingga
setelah kepengurusan selesai tidak ada tindaklanjut dari pola yang sudah
disusun. Hal pertama yang bisa dilakukan adalah mengadakan evaluasi
kepengurusan sebelumnya untuk dapat memformulasikan pola kaderisasi yang akan
diterapkan di kepengurusan selanjutnya. Kedua, ambiguitas jobdesk pengurus inti dan pengurus teras
dapat diperjelas pembagiannya apabila itu memang dibutuhkan. Mengaca pada
kepengurusan sebelumnya yang selalu menggulingkan wacana penghapusan sekat
angkatan namun justru menyebabkan ambigu pada pengurus, sehingga biasanya yang
membuat konsep acara selalu pengurus inti dan pengurus teras seolah hanya
sebagai eksekutor. Hal yang dapat dilakukan adalah penambahan wadah untuk
memperkuat kapasitas pengurus teras pada materi keorganisasian PMII (posisi dan
kondisi), perlunya pemahaman sinergisitas antarpengurus, problem solving, dan politik kampus ketika mereka masih pada posisi
kader (bisa diberikan di semester II setelah doktrinasi ideologisasi
terselesaikan di semester I). Karena pada masa pengurus teras menjadi kader,
pasokan pengetahuan mengenai keorganisasian minim atau jarang didiskusikan oleh
pengurus Rayon. Sehingga, ketika kader naik menjadi pengurus mereka selalu
mengalami kebingungan yang sama untuk melanjutkan roda kaderisasi.
Menilik Anggaran Dasar (AD) Bab IV Pasal 8 mengenai Skema
Pengembangan Kaderisasi yang menyatakan bahwa skema pengembangan kaderisasi
disesuaikan dengan kebutuhan, tuntutan dan perkembangan zaman. Hal ketiga
yang bisa dilakukan adalah menyesuaikan pola kaderisasi dengan iklim anak
eksakta. Anak eksakta yang mayoritas memiliki banyak tugas praktikum tidak akan
maksimal menerima proses mereka di PMII jika setiap hari mereka diberikan tugas
tambahan seperti menghabiskan buku oleh pengurus Rayon. Kajian memang menjadi
wajah dari PMII, berkualitas tidaknya kader pun sejauh ini masih dipatok pada
buku bacaan yang dibaca. Jika hal ini masih menjadi standardisasi dalam
penilaian mutu kader maka wajar jika kader PMII yang ada di ranah eksakta
mengalami keraguan untuk terus berproses sebab wacana yang biasa disajikan oleh
PMII adalah wacana dari tokoh sosialistis; seperti Tan Malaka, Soe Hok Gie,
Pramoedya Ananta Toer, dan lain sebagainya. Sedangkan tokoh-tokoh tersebut
tidak pernah ada di dalam lingkungan mereka. Sehingga minat baca kader eksakta
akan menurun. Kita dapat mencoba mengalihkan wacana yang ada pada kader eksakta
dengan mengenalkan mereka pada tokoh seperti: Thomas Kuhn, Karl Popper,
Einstein, Newton dan banyak lagi, yang namanya sudah tidak asing mereka dengar.
Sehingga kader PMII eksakta memiliki tingkat kesadaran tinggi akan dimensi
etika ilmu pengetahuan serta mampu melihat etika sains secara kritis dengan
memadukan pendidikan sains dan masyarakat Islam. Pasalnya, krisis sains dan
kesadaran intelektual yang sekarang terjadi, masyarakat Islam telah
menghasilkan sains Islam kontemporer. Sains rasanya merupakan satu hal yang
mampu dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi kemanusiaan, akan tetapi manusia
mengalami kekecewaan terhadap sains Barat. Sains Barat dipersalahkan karena
memiliki daya serang terhadap manusia dan lingkungan alam yang kemudian
menyebabkan proses dehumanisasi (pemerosotan nilai manusia) dan alienasi
(pengasingan) manusia. Mengenai kesalahpahaman ini dapat dijelaskan secara
efektif dengan memahami etika, moral, dan perspektif sains Islam yang holistik.[3]
Keempat, selain pemahaman
keorganisasian dan wacana, hal yang vital di PMII adalah gerakannya. Pada
umumnya, gerakan mahasiswa selalu merujuk kepada aksi demonstrasi. Akan tetapi,
aksi demonstrasi sejauh ini masih belum dapat menarik perhatian kader eksakta.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut antara lain konsep aksi
demonstrasi yang tidak jelas, tidak adanya diskusi pra-aksi sehingga kader
menganggap dirinya hanya dijadikan massa aksi yang kopong, aksi demonstrasi dianggap ‘anarkis’, dan faktor-faktor
lainnya. Apabila aksi demonstrasi tidak dapat diterima oleh kalangan kader
eksakta, alternatif aksi lain yang dapat dilakukan adalah melalui aksi tulisan.
Kader eksakta yang cenderung eksperimental bisa mencoba menerbitkan produk
pemikiran mereka terhadap isu kontemporer melalui esai atau penelitian. Kelima,
kegiatan yang dilakukan oleh pengurus Rayon mulai menggunakan istilah ilmiah
agar kader mulai terbiasa dengan lingkungan eksakta.
Kelima poin di atas merupakan tawaran perombakan terkait
formula kaderisasi yang ada sejauh ini dengan menggiring kader PMII untuk
memperkuat basic kajian maupun
keilmuan eksakta yang jika dikorelasikan dengan trilogi PMII tentu erat
kaitannya dengan salah satu poin yang termaktub di dalam tri khidmat, yaitu
profesional.[]
[1] Penulis
merupakan kader PMII Rayon Sains dan Teknologi Komisariat UIN Walisongo
angkatan 2015. Tulisan ini merupakan hasil kegalauan penulis.
[2] Lebih lengkapnya dapat dibaca di www.nu.or.id, tulisan yang berjudul Formula Kaderisasi Eksakta ala
PMII karya Joko Priyono, 2018
[3] Nasim Butt, diterjemahkan dari Science and Muslim Society terbitan Grey Seal Books, London, 1991.
Cetakan ketiga tahun 2001
0 Komentar