Sesuai dengan geopolitik dan
geografisnya sebagai negara kepulauan, bangsa kita dapat mengembangkan konsep
poros maritime. Negara ini memiliki
empat titik strategi yang dilalui 40% kapal-kapal pedagang di dunia yaitu Selat Malak, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat
Makassar yang bisa memberikan peluang yang besar untuk memfasilitasi Indonesia menjadi pusat industri
perdagangan serta pelayaran maritim dunia. Untuk menghadapi hal tersebut,
Indonesia seharusnya sudah siap dengan Sumber Daya Manusia (SDM) dan teknologi untuk menerima kapal-kapal luar negeri.
Secara
umum, peluang dan tantangan dalam mewujudkan poros maritim dari segi eksternal adalah derasnya arus globalisasi serta perubahan paradigma
sektor industri dunia. Sedangkan, dari
sisi internalnya, peluang dan tantangan itu sendiri meliputi:
ketersediaan infranstruktur, SDM, penggunaan teknologi dan keamanan di laut. Dengan
demikian, poros maritim, yakni: pengembangan SDM
dan teknologi kelautan, pembangunan sektor
ekonomi kelautan, pengelolaan sumber daya laut dan wilayah pesisir yang
berkelanjutan, serta pembangunan sistem pertahanan dan keamanan berbasis geografi negara
kepulauan dan pembangunan hukum maritim nasional.
Sebagai
salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, Indonesia
belum memanfaatkan potensi maritimnya dengan baik. Terbukti dengan jumlah
pelabuhan kita yang masih relatif sedikit untuk negara
yang memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km. Sebagai perbandingan, panjang pantai Jepang adalah 34.000 km dan
memiliki pelabuhan perikanan 50 km
setiap garis pantai. Dari
hal tersebut, Indonesia seharusnya
memiliki satu pelabuhan untuk setiap 40 km.
Dengan memandang realitas yang
terjadi, Indonesia harusnya lebih
memperhatikan infranstruktur laut karena laut merupakan
sarana angkut paling murah dibandingkan dengan infranstruktur lainnya. Pembangunan infranstruktur yang baik (tepat sasaran dan sesuai geografis Indonesia) akan mendorong pertumbuhan
ekonomi. Indonesia sesungguhnya sangat beruntung. Dikatakan oleh Mahan, bahwa negara
yang berbatasan dengan daratan tidak lebih baik dari negara yang langsung mengarah ke laut. Pemanfaatan posisi
geografis secara bijak dan konsisten tidak hanya menguntungkan militer, tetapi
juga meningkatkan pendapatan dan kekayaan suatu negara.
Di era
globalisasi sendiri, akses laut semakin memiliki peran yang krusial terhadap ekonomi suatu negara di dunia. Hampir
seluruh negara di Benua Asia masih terjajah atau belum melakukan sistem ekonomi terbuka. Namun, negara-negara di belahan Asia dengan menakjubkan tumbuh menjadi ekonomi besar dunia, misalnya, China, Jepang, India dan Korea Selatan.
Posisi
Indonesia yang terletak di silang dunia memberikan kemudahan bagi Indonesia
untuk menuju arah manapun sekaligus menjadikannya sebagai penyebab terjadinya
perubahan dan menimbulkan kejadian baru ekonomi nasional. Selain memberikan
kemudahan akses untuk mengekspor produksinya, Letak
geografis ini juga dapat dimanfaatkan Indonesia untuk menyediakan jasa angkut dan pelabuhan bagi kapal-kapal yang lewat. Dengan mengembangkan industri baru berbasis maritim akan menawarkan peluang ekonomi yang
sangat besar bagi investor dan perbankan. Pembangunan maritim tidak semata-mata seputar perikanan, perkapalan dan pelabuhan, tetapi
juga mencakup beragam aspek lainnya untuk menunjang kemakmuran Indonesia,
seperti pariwisata, energi baru dan terbarukan seperti energi panas laut, energi
pasang surut, energi gelombang laut, bioteknologi, farmasi, dan kosmetik.
Pembangunan
sumber daya manusia di bidang maritim harus mulai dikembangkan oleh pemerintah
jika ingin memajukan maritim Indonesia. Saat ini belum banyak universitas yang memiliki fakultas kelautan
yang lulusannya diharapkan dapat menjadi masyarakat maritim kedepannya.
Akademik yang mendidik para pelaut di Indonesia juga belum banyak, untuk mewujudkan poros maritim di seluruh tanah air terutama
di kabupaten atau kota yang sebagian besar wilayahnya adalah
laut. Selain itu, pemerintah perlu membangun berbagai balai latihan kerja di sektor kelautan
karena adanya rasa enggan untuk melaut
dan ketakutan terhadap laut menghalangi orang untuk mencari kekayaan melalui
jalur perdagangan laut.
Jumlah nelayan di Indonesia memang banyak. Tetapi, mereka
juga memiliki kendala untuk dapat melaut hingga Zona Ekonomi Eksklusif ( ZEE ).
Ketidakmampuan melaut hingga ZEE ini bukan hanya dikarenakan keterbatasan fisik
yang tidak kuat menahan terjangan ombak
, tetapi juga karena persoalan kapal yang tidak mampu menjangkau wilayah
tersebut. Hal ini menyebabkan nelayan
tidak bisa melaut dan tidak dapat menjangkau wilayah perairan tersebut
yang jauh. Kapal tangkap ikan nelayan Indonesia masih berteknologi rendah
sehingga kalah saing dibandingkan kapal-kapal negara Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
Konsep
poros maritim tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan konsep wawasan
nusantara. Bahkan, dapat dikatakan bahwa poros maritim merupakan perwujudan
dari wawasan nusantara. Wawasan nusantara merupakan cara memandang bahwa
wilayah laut merupakan satu kesatuan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya serta seluruh kekayaannya yang terkandung
di dalamnya tidak bisa dipisah-pisahkan.
Konsep wawasan nusantara
diperkenalkan pada masa Soekarno, yang mana pada tahun 1957, melalui Perdana Menteri
Djuanda mendeklarasikan wawasan nusantara adalah wawasan kebangsaan yang meneguhkan asas negara
nusantara atau negara kepulauan.
Dalam siding 13 Oktober 1957, Dewan Menteri akhirnya memutuskan penggunaan Archipelagic State
Principle dalam tata hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya hukum
di Indonesia, yaitu pengumuman pemerintah mengenai “Perairan
Negara Republik Indonesia”. Dalam pengumuman itu, pemerintah menyatakan bahwa semua
perairan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau yang
termasuk daratan negara republik Indonesia adalah bagian wilayah negara republik Indonesia yang merupakan bagian dari perairan nasional berada di bawah
kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.
Sebagai negara kepulauan yang luas, laut yang dimiliki bangsa
Indonesia merupakan sarana “penghubung” pulau bukan “pemisah”. Pulau-pulau yang tersebar secara terpisah
di negara kepulauan Indonesia tetap merupakan satu kesatuan unit. Sehingga, walaupun
terpisah-pisah, bangsa Indonesia tetap menganggap negaranya sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari “tanah” dan
“air”, sehingga lazim disebut sebagai “tanah air”.
Perwujudan tanah air sebagai satu kesatuan
dianggap sudah sesuai dengan aspirasi dari falsafah Pancasila.
*Penulis adalah Koordinator Biro Keislaman
Rayon Sains dan Teknologi Masa Juang 2016-2017 dan ketua HMJ Matematika periode 2017
0 Komentar