Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

Ketika Uang Menentukan Ilmu: Ironi Komersialisasi Pendidikan di Negeri Pancasila

 Oleh: Putri Isma Arum Setia Wati

Pendidikan di Indonesia seharusnya menjadi hak bagi setiap warga negara untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang menekankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta amanat pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menegaskan “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Namun dewasa ini, realitas dilapangan menunjukkan adanya ironi: pendidikan justru kerap dianggap sebagai komoditas ekonomi. Biaya masuk perguruan tinggi terus meningkat setiap tahun, sehingga akses pendidikan semakin ditentukan oleh kemampuan finansial, bukan oleh semangat belajar atau potensi akademik.

Menurut laporan Word Bank (2020), salah satu penghalang utama pemerataan kesempatan pendidikan di Indonesia adalah biaya pendidikan. Khusus ditingkat peguruan tinggi, semakin menjamurnya praktek-praktek komersialisasi pendidikan maka secara tidak langsung juga melemahkan sistem pendidikan itu sendiri. Pilihan yang ada hanya tinggal satu, yaitu tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena biaya masuknya yang cukup mahal. Ketakutan masyarakat setiap tahunnya ini, tampaknya belum dapat dijawab secara tegas oleh pemerintah. Bahkan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pun, belum dapat memberikan efek jera pada pelaku praktek komersialisasi di tingkat perguruan tinggi. Kondisi seperti ini membuat sistem pendidikan mulai menjadikan sekolah sebagai coorporate education yang kental nuansa bisnisnya, dari pada pemenuhan hak dasar rakyat. Kondisi ini menciptakan paradoks di negeri yang menjunjung tinggi pancasila. Nilai gotong royong dan keadilan sosial kerap tereduksi oleh logika pasar. Lembaga-lembaga pendidikan pemerintah sedang berbenah menuju sebuah perusahaan bisnis yang siap memburu pemasukan sebanyak-banyaknya untuk “biaya operasional” dan meraup keuntungan. Ironi ini menjadi semakin relevan untuk dibahas ketika banyak masyarakat dengan kemampuan ekonomi pas-pasan semakin kecil peluangnya untuk mendapat akses terhadap pendidikan yang layak.

Faktor Komersialisasi Pendidikan

Pendidikan adalah suatu kegiatan manusia yang memiliki tujuan tertentu. Dalam pelaksanaannya, pendidikan melibatkan berbagai komponen yang berpartisipasi dalam proses tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keduanya memiliki hubungan yang erat dan saling memengaruhi serta saling tergantung satu sama lain. Oleh karena itu, hasil pendidikan tidak hanya ditentukan oleh komponen-komponennya saja, melainkan juga oleh prosesnya yang didukung oleh fasilitas dan sarana yang memadai. Dengan kata lain, pendidikan memerlukan pendanaan, terutama dalam konteks pendidikan berkualitas. Namun, penting untuk diingat bahwa pendanaan yang besar tidak selalu menjamin kualitas pendidikan, karena anggaran yang besar pun bisa dimanfaatkan untuk tujuan komersial dan praktik yang merugikan mahasiswa. Artinya, nkomersialisasi pendidikan di Indonesia tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan di pengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.

Dampak komersialisasi Pendidikan

Pada akhirnya, komersialisasi pendidikan tampak jelas dalam realitas sehari-hari mahasiswa. Dampak nya bukan hanya terasa secara teoritis, tetapi juga berupa beban finansial, pengurangan fasilitas, dan penurunan kepercayaan mahasiswa terhadap lembaga pendidikan. Baru-baru ini sistem UKT adalah salah satu contoh nyata, karena seharusnya menjadi instrumen keadilan, dalam praktiknya justru sering menciptakan ketimpangan. Banyak mahasiswa merasa biaya kuliah menjadi beban yang berat karena penentuan UKT tidak sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga mereka. Akibatnya: Pertama, penyusutan aksesibilitas pendidikan tinggi. Mahasiswa berasal dari keluarga dengan keterbatasan finansial kesulitan memenuhi biaya pendidikan sehingga mempersempit kesempatan untuk mengejar perguruan tinggi. Kedua, tekanan finansial dan psikologis mahasiswa. Kenaikan UKT yang semakin semena-mena menimbulkan dampak signifikan bagi mahasiswa tidak hanya finansial tetapi juga psikologis. Tekanan untuk membayar UKT menyebabkan orang tua dan mahasiswa menjadi stres, cemas, hingga depresi. Ketiga, risiko bertumbuhnya jumlah mahasiswa drop out atau terpakasa berhenti kuliah akibat tidak dapat membayar UKT (Fundrika, 2024). Keempat, dapat memperparah kesenjangan sosial ekonomi. Kenaikan UKT di nilai dapat memperparah kesenjangan antara keluarga yang mampu dan keluarga yang tidak mampu secara finansial. Kelima, terjadinya komersialisasi pendidikan. Tidak dipungkiri bahwa sistem pendidikan tinggi di Indonesia cenderung di dominasi oleh mekanisme pasar.

Selain UKT, Kebijakan perguruan tinggi seperti Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) juga mengalami fenomena serupa. Alih-alih menjadi ruang pembinaan akademik dan spiritual yang inklusif, beberapa kebijakan yang diberlakukan malah mengarah pada komersialisasi tersembunyi. Salah satunya adalah kewajiban tinggal di Ma’had yang diberlakukan kepada mahasiswa baru di UIN Walisongo Semarang. Secara konseptual ma’had diharapkan untuk membentuk karakter mahasiswa yang relegius dan berintegritas. Namun, pada kenyataannya, fasilitas yang diberikan sangat tidak layak, bahkan nyaris tidak ada. Mahasiswa diwajibkan membayar, tetapi hak mereka atas fasilitas yang layak kerap terabaikan. Kondisi ini mencerminkan bagaimana kebobrokan sistem pendidikan di UIN Walisongo, yang semestinya menjadi ruang pembinaan intelektual berubah menjadi beban ekonomi mahasiswa.

Krisis Idealisme Kampus

Pendidikan bukanlah komoditas, melainkan hak yang dapat di akses oleh semua lapisan masyarakat, tanpa menghiraukan status ekonomi. Namun, di UIN Walisongo realitasnya masih memperlihatkan wajah pendidikan yang pincang: biaya UKT yang mahal dan tidak adil, program ma’had yang wajib diikuti namun fasilitas terbatas, serta birokrasi kampus yang lebih fokus pada angka ketimbang mendengarkan suara mahasiswa. Alih-alih membantu mengembangkan kemampuan, kebijakan ini justru menambah beban mahasiswa baru.

Ironi ini menunjukkan betapa idealisme dalam pendidikan mulai terkikis. Mahasiswa yang datang dengan impian besar, dipaksa berhadapan dengan sistem yang tidak adil. UIN Walisongo, yang seharusnya menjadi ruang bebas berpikir, justru bisa berubah menjadi mesin komersialisasi. Kondisi seperti ini tidak boleh terus berlangsung, sebab pendidikan tidak boleh kehilangan jiwanya.

Sudah saatnya kampus melakukan pembenahan, bukan hanya dengan janji manis atau istilah-istilah keagamaan. Perubahan harus dimulai dengan menata ulang kebijakan UKT yang adil, memperbaiki fasilitas ma’had, membuat transparansi pengelolaan anggaran, dan mendengarkan aspirasi mahasiswa. Pendidikan yang benar adalah tentang membangun manusia, bukan mencari untung. Dan mahasiswa sebagai bagian vital kampus, akan terus bersuara sampai pendidikan kembali ke makna sebenarnya: mendidik, membebaskan, dan memanusiakan.

Saran Perbaikan Kampus

Melihat berbagai keresahan dari mahasiswa baru, ada beberapa saran yang bisa diberikan agar UIN Walisongo tetap berjalan sesuai tujuannya. Kritik ini dimaksudkan untuk didiakusikan bersma, sebagai bahan refleksi bersama agar kampus benar-benar menjadi tempat belajar yang nyaman dan layak. Pertama, terkait UKT. Hampir semua mahasiswa baru 2025 merasa kecewa dengan kenaikan yang signifikan. Kebijakan ini terasa tidak adil dan sangat memberatkan bagi keluarga yang memiliki pendapatan rendah. Jika terus diterapkan, risiko terburuk adalah banyak mahasiswa yang memutuskan berhenti kuliah karena tidak mampu membayar. Saran dari saya adalah UKT dibagi lebih adil sesuai data finansial yang sudah diberikan. Transparansi dalam menentukan besaran UKT juga penting agar mahasiswa merasa dihargai, bukan dipaksa. Kedua, terkait program Ma’had. Jika ma’had tetap diwajibkan, mahasiswa berhak menuntut fasilitas yang layak. Namun, kenyataannya biaya Rp4 juta, jelas terasa tidak sebanding dengan fasilitas yang diberikan. Banyak mahasiswa mengeluh soal kasur dan bantal yang terlambat datang, toilet yang rusak tanpa perbaikan, serta beberapa lift yang tidak berfungsi. Selain itu mahasiswa juga diwajibkan menggunakan jasa laundry dan dilarang mencuci sendiri. Kebijakan seperti ini terasa tidak masuk akal, karena kebutuhan dasar yang sederhana justru dianggap sebagai komoditas. Jika kampus sungguh ingin menjadikan Ma’had sebagai tempat pembinaan, maka fasilitas dan kebijakan yang manusiawi harus menjadi prioritas utama. Ketiga, perbaikan fasilitas harus menjadi prioritas. Kampus seharusnya memberikan kenyamanan kepada mahasiswa, baik di ruangan kelas, asrama, atau layanan pendukung seperti internet. Mahasiswa tidak menuntut hal mewah, tapi mereka hanya meminta fasilitas layak sesuai uang yang dibayarkan. Jika program Ma’had tetap wajib, maka wajar jika mahasiswa menuntut fasilitas minimal—kasur layak, kamar mandi bersih, serta peralatan lain yang bekerja dengan baik. Dari saran-saran ini, terlihat bahwa mahasiswa tidak menolak aturan, tetapi menolak ketidakadilan. Pendidikan yang layak tidak akan tercapai jika kampus hanya fokus pada biaya tanpa menyediakan fasilitas yang sepadan. UIN Walisongo harus mendengarkan suara mahasiswanya: bahwa pendidikan bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang kepedulian terhadap manusia.

Daftar Pustaka

1.     Alfiani Purwaningrum, & Subhi, M. R. (2023). Faktor penyebab komersialisasi pendidikan. Muaddib: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2, 84–95.

2.     Astril, H. (2011). Dampak sosial komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Kajian, 16(3).

3.     Campaign.com. (2024). Polemik UKT naik bikin mahasiswa tercekik. Diakses dari: https://campaign.com/updates/16387/polemik-ukt-naik-bikin-mahasiswa-tercekik

4.     Fatmah. (2024). Maraknya aksi mahasiswa menentang kenaikan UKT dan uang pengembangan. Berajah Journal: Jurnal Pembelajaran dan Pengembangan Diri, 4(2).

5.     Kurnianingrum, T. P. (2024). Dampak kenaikan uang kuliah tunggal (UKT). Info Singkat: Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis, 16(11). Jakarta: Pusat Analisis Keparlemenan DPR RI.

6.     Monica, S. Y. H., & Ravanti, N. F. P. (2024). Pelanggaran hak atas pendidikan di Indonesia: Diskursus mengenai student loan sebagai solusi komersialisasi perguruan tinggi. Padjadjaran Law Review, 12(2).

7.     Parijyatmi, & Maisaroh, S. (2024). Komersial pendidikan yang terjadi di Indonesia. Adi Karsa: Jurnal Teknologi Komunikasi Pendidikan, 15(1).

8.     Pradana, R. M., Fauzi, A., Budiyanto, & Hazin, M. (2025). Analisis kebijakan standar operasional perguruan tinggi negeri di Indonesia yang berdampak pada rencana kenaikan uang kuliah tunggal. Didaktika: Jurnal Kependidikan, 14(2).

9.     Risqiatul Hasanah, dkk. (2024). Komersialisasi pendidikan dan implikasinya terhadap dakwah di era teknologi. Bayan Lin Naas: Jurnal Dakwah Islam, 8(2).

10.  Tilaar, H. A. R. (2006). Standarisasi pendidikan nasional: Suatu tinjauan kritis. Jakarta: Rineka Cipta.

11.  World Bank. (2020). Indonesia economic prospects: The long road to recovery. Washington, DC: World Bank.

Posting Komentar

0 Komentar